Jakarta, Gatra.com - Ada setumpuk persoalan di Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja, pasca Pemerintah dan DPR RI kompak menggarapnya. Salah satunya, persoalan investasi minyak dan gas.
Bukannya menarik investasi, beleid ini justru membuat ketidakjelasan iklim investasi migas di Indonesia. “UU Cipta Kerja justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian investasi Minyak dan Gas (Migas),” kata Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi (10/10).
Fahmy menilai aturan klaster migas di UU Cipta Kerja salah kaprah. Bahkan, menurutnya, bertentangan dengan Undang-undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. “Yang masih berlaku terkait izin usaha investasi Migas di Indonesia,” ujarnya.
Pada klaster Migas UU Cipta Kerja pasal 5 ayat (1), misalnya, mengatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat. “Padahal UU Migas Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha hulu Migas dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama,” ujarnya.
Menurut Fahmy, perubahan rezim perizinan, dari kontrak kerja sama menjadi izin usaha, akan menimbulkan ketidakpastian bagi investor Migas. “Dengan perubahan tersebut, apakah masih menggunakan izin kotrak kerja sama seperti diatur dalam UU Migas 22 tahun 2001 atau menggunakan izin usaha seperti diatur dalam UU Cipta Kerja?” katanya.
Fahmy menjelaskan, selain pengaturan mekanisme izin usaha Migas, UU Cipta Kerja juga tidak mengatur kelembagaan yang berwenang memberikan izin. Jika mengacu ke UU Migas 22 tahun 2001, izin kontrak kerja sama investasi Migas selama ini diberikan oleh SKK Migas atas nama Pemerintah sebagai pemegang kuasa.
Adapun skemanya, yaitu cost recovery atau gross split. Menurutnya, UU Cipta Kerja memang mengatur BUMN Khusus. Hanya saja UU itu tidak menjelaskan, peran BUMN Khusus tersebut, pengganti SKK Migas atau tidak. “Tidak diaturnya kelembagaan yang memberikan izin akan semakin menimbulkan ketidakpastian investasi Migas di Indonesia,” katanya.
Menurut Fahmy, alih-alih menciptakan kepastian investasi, UU Cipta Kerja justru bertentangan dengan UU Migas. Fahmy menegaskan, dengan adanya ketidakpastian investasi Migas, justru menghambat investor ke Indonesia. “Akhirnya, harapan untuk menaikkan lifting migas dan membuka lapangan pekerjaan baru di hulu migas melalui UU Cipta Kerja tidak akan pernah terwujud,” katanya.