Jakarta, Gatra.com - Ponco Sulaksono, jurnalis MerahPutih.com berangkat untuk meliput aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) di kawasan Monas, Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10) kemarin. Keberadaannya masih terdeteksi melalui berita pantauannya yang dikirim ke tim redaksi pada pukul 15.14 WIB. Namun sekira pukul 19.57, redaksi tiba-tiba mengabarkan Ponco tak bisa dikontak.
Pesan berantai pun disebarkan tim redaksi MerahPutih.com melalui grup-grup WhatsApp lingkar wartawan guna mendapatkan titik terang atas keberadaan Ponco. Setelah itu, tim redaksi sempat mendapat kabar dari saksi di lapangan bahwa saat terjadi bentrokan antara massa aksi dengan polisi sore tadi, Ponco sempat terjatuh karena terkena gas air mata dan ditangkap aparat. Kendati begitu, kabar tersebut awalnya belum terkonfirmasi.
Tim redaksi pun menelusuri beberapa titik, mulai Mapolsek Gambir, Mapolres Jakarta Pusat, Mapolda Metro Jaya, hingga beberapa rumah sakit di kawasan Gambir. Namun hingga pukul 23.30 WIB, belum ada yang memberi sinyal positif atas keberadaan jurnalis kompartemen hukum tersebut.
"Jika ada pihak-pihak yang mengetahui tentang keberadaan Ponco Sulaksono bisa menghubungi Alwan Ridha Ramdani, Kepala Kompartemen News MerahPutih.com," tulis rilis tim redaksi MerahPutih.com dengan menyematkan kontak Alwan, Kamis (8/9).
Akhirnya keberadaan Ponco diketahui pada Jumat (9/10) pagi tadi, di Mapolda Metro Jaya. Ponco belum membeberkan kronologis lengkap saat diangkut. Namun, berdasarkan pengakuannya ke pewarta, ia sudah menyatakan bahwa dirinya adalah wartawan yang meliput aksi, tetapi tetap diboyong polisi. Ponco bahkan memakai jaket berwarna biru dongker bertuliskan PERS di punggungnya.
Proses pembebasan Ponco sangat lama. Ia pun baru dipulangkan dari Polda Metro Jaya pada malam harinya sekira pukul 20.00 WIB. Dalam foto yang beredar, wajah Ponco tampak memar di bagian hidung dan mata.
Tak berbeda jauh dari Ponco, jurnalis Suara.com, Peter Rotti yang bertugas meliput aksi di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, mengalami kekerasan dari polisi. Peristiwa yang terjadi pukul 18.00 WIB itu bermula saat Peter merekam video aksi polisi mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia.
Peter didampingi videografer, Adit Rianto S, melakukan siaran langsung YouTube. Melihat Peter merekam aksi para polisi menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa, tiba-tiba seorang aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya.
Tak lama, enam anggota Brimob menyusul aparat yang menyamar itu. Para polisi itu meminta kamera Peter, akan tetapi ia menolak sambil menjelaskan bahwa dirinya jurnalis yang sedang meliput. Ia juga menolak saat diminta kartu memori, tapi bersedia menghapus datanya. Negosiasi berujung alot, para polisi langsung pun menganiaya Peter.
"Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka (polisi) tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar," tulis rilis tim redaksi Suara.com yang membeberkan percakapannya dengan Peter melalui sambungan telepon, Kamis (8/9) malam.
Setelah merampas kamera, memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar patung kuda, kawasan Monas, Jakarta itu diambil polisi. Namun kameranya dikembalikan kepada Peter.
"Saya selaku Pemred Suara.com mengecam aksi penganiayaan terhadap jurnalis kami, maupun jurnalis media-media lain yang mengalami aksi serupa," kata Suwarjono, Pemred Suara.com dalam rilis tersebut.
Nasib serupa juga dialami Thohirin, pewarta CNN Indonesia yang meliput aksi di Simpang Harmoni, Jakarta Pusat. Berdasarkan keterangan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta, Thohirin mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika ia meliput demonstran yang ditangkap kemudian dibogem di kawasan itu. Padahal, saat kejadian itu dia tak memotret atau merekamnya.
Polisi tak percaya kesaksiannya, lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya, gawai yang ia gunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak.
“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin, yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Argo Yuwono merespons aksi kekerasan yang diduga dilakukan junior-juniornya itu. Ia menyebut, memang seharusnya wartawan dilindungi dalam menjalani tugasnya. Namun ia berdalih, aksi kekerasan itu dilakukan karena polisi juga ingin melindungi dirinya sendiri di tengah kericuhan.
"Karena situasinya chaos dan anarkis, anggota juga melindungi dirinya sendiri," kata Argo saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (9/10).
Argo justru meminta wartawan dan aparat saling bekerja di lapangan dengan cara menunjukkan identitas atau kartu pers. Dengan identitas yang jelas, katanya, polisi bisa melindungi wartawan dengan membawanya di dalam barikade.
Pernyataan Argo tampak kontradiktif dengan pengakuan Thohirin, yang jelas sudah menunjukkan kartu identitas dan rompi 'Pers' yang dipakainya. Atas dasar itu, Argo meminta waktu pihaknya untuk mengusut lebih lanjut.
"Nanti kita akan kroscek dulu kejadiannya seperti apa, tapi setiap pengamanan kami sudah memberi imbauan dan mengingatkan semua agar tidak terjadi salah paham," tutupnya.
Selain tiga wartawan itu, AJI Jakarta mencatat bahwa polisi turut menciduk enam anggota pers mahasiswa yang meliput aksi. Mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.
AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani menyebut kekerasan serupa juga terjadi pada saat aksi #ReformasiDikorupsi. Namun hingga hari ini perkara itu tidak rampung meski pihaknya telah melaporkan kasus itu ke polisi.
"Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. Oktober tahun 2019, kami telah melaporkan empat kasus kekerasan, dua laporan pidana dan dua di Propam, namun tak satupun yang berakhir di meja pengadilan," kata Asnil melalui keterangan resminya, Jumat (9/10).
Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, AJI Jakarta melihat wartawan tetap saja jadi sasaran amuk polisi. Dalih polisi ‘kartu pers wartawan tak kelihatan’, maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi.
Atas peristiwa tersebut, AJI Jakarta menuntut empat hal kepada Polri. Pertama, Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis di aksi tolak UU Cilaka dan menindaklanjuti pelaporan kasus serupa sebelumnya.
Kedua, AJI Jakarta mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban.
Ketiga, AJI Jakarta mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis.
Keempat, AJI Jakarta mendesak Kapolri Jenderal Pol Idham Azis membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan.