Sepuluh pengurus cabang olahraga yang sebelumnya dicoret dari ajang PON XX Papua, masih melakukan lobi agar bisa kembali bertanding. Usulan adanya provinsi pendamping, ditolak penyelenggara. Ada campur tangan Presiden.
Persiapan penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua yang akan dihelat pada Oktober 2021, sudah mencapai 80%. Sejumlah arena pertandingan dan venue telah selesai dibangun dan beberapa sudah masuk tahap finishing.
Namun, polemik 10 cabang olahraga (cabor) yang telah dicoret dari daftar pertandingan, masih menyeruak. Pengurus 10 cabor tersebut, masih memperjuangkan kembali agar mereka bisa tetap bertanding di ajang olahraga nasional tersebut.
Sepuluh cabor yang dicoret, yaitu balap sepeda, bridge, dansa, golf, gate ball, petanque, ski air, soft tenis, tenis meja, dan wood ball. "Tentang 10 cabor yang diusulkan oleh para pimpinan cabor untuk dapat dipertandingkan di PON XX nanti, belum mendapat persetujuan dari PB PON," kata Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Zainudin Amali, kepada Muhammad Guruh Nuary dari GATRA.
Zainudin menegaskan, keputusan ini memang menjadi wewenang penuh Panitia Besar (PB) PON XX Papua. Menurutnya, pihaknya tidak berhak melakukan lobi apa pun agar bisa menambah kembali cabor. Hingga kini, cabor yang akan dipertandingkan hanya 37 dari 47 yang direncanakan.
Humas PB PON XX, Kadkis Matdoan, mengatakan bahwa Papua bisa saja menyanggupi 10 cabor dapat berpartisipasi, tetapi butuh waktu lebih lama lagi untuk mempersiapkan segalanya. Di sisi lain, jika pelaksanaan PON ditunda lagi, akan berdampak pada event olahraga nasional dan internasional yang akan bergulir.
Kadkis mengakui, usulan untuk mengikutsertakan 10 cabor memang kembali mencuat. Semua berawal saat rapat bersama KONI Pusat akhir Agustus lalu. Bahkan sampai muncul wacana untuk mempertandingkan 10 cabor di provinsi pendamping. "Ada wacana bahwa 10 cabor itu melaksanakan PON di luar Papua, tapi waktu itu kan Presiden sudah menghendaki, PON Papua jangan sampai ada di luar Papua. Namanya saja sudah PON Papua," ujarnya kepada Dwi Reka Barokah dari GATRA.
Menurut Kadkis, daftar 10 cabor yang dicoret dari PON, sudah ditetapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Keputusan diambil Presiden setelah berdialog dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe. "Sehingga 10 cabor itu dikeluarkan dari PON, bukan semata-mata kehendaknya Pemprov Papua," ujarnya.
Dalam dialog dengan Presiden Jokowi, Lukas memaparkan alasan tidak diikutsertakan 10 cabor tersebut. Pertimbangan utamanya, yaitu kondisi Papua yang tidak memungkinkan untuk mengakomodasi kesepuluh cabor. Semua lantaran tidak mudah dalam membangun sejumlah venue dan arena pertandingan bertaraf internasional dalam satu tahun. Apalagi banyak cabor, pastinya banyak butuh waktu.
Bahkan, lanjut Kadkis, jika pelaksanaan PON XX tanpa ditunda, kemungkinan Papua tidak bisa menyediakan sebagian venue. "Sekarang saja hotel yang ada di Jayapura belum cukup memenuhi orang yang akan datang di PON nanti. Maka, semua hotel untuk kontingen itu kami yang atur," tuturnya.
Memang suara lantang untuk bisa kembali ikut dilombakan di ajang PON XX, datang dari cabor balap sepeda. Hal itu dinyatakan langsung oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) ISSI, Raja Sapta Oktohari pada September lalu, bahwa pihaknya masih berambisi agar cabor balap sepeda bisa kembali dilombakan pada PON XX mendatang.
Okto bahkan sudah membuka komunikasi dengan pihak Kemenpora dan KONI Pusat ketika itu. "Saya sudah berkoordinasi dengan Bapak Menpora, dan kita sama-sama komitmen untuk memastikan nomor balap sepeda bisa diperlombakan di PON Papua," katanya dalam rilis.
Kekeuh-nya Okto bukanlah tanpa dasar. Pihaknya menilai bahwa balap sepeda selama ini telah terbukti sukses dalam mendulang berbagai prestasi, baik di tingkat nasional maupun internasional, dalam empat tahun terakhir. "Sepeda sebagai nomor yang telah berkontribusi menyumbangkan dua medali emas Asian Games pada 2018, setelah 56 tahun juga berkontribusi mengirimkan atlet di Olimpiade 2016. Itu jadi harapan besar balap sepeda tetap bisa diperlombakan di PON Papua," tutur Okto.
Terkait langkah PB ISSI ini, GATRA mencoba mengonfirmasi kembali kepada Raja Sapta Oktohari, baik melalui pesan WhatsApp maupun telepon, tetapi tak kunjung dibalas.
***
Ketua KONI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Djoko Pekik, mengakui akan mengikuti keputusan akhir, mengingat PON bukan ajang main-main dan butuh persiapan matang, termasuk dalam persiapan atlet dan anggarannya yang dari APBD. "Dari awal ada polemik ini, kami sudah berjuang untuk 10 cabang dipertandingkan. Toh akhirnya dicoret. Pasti ada untung dan ruginya, tapi DIY sebenarnya dirugikan," ujarnya kepada GATRA, Senin lalu.
Dari 10 cabor itu, memang ada dua cabang unggulan DIY, yakni balap sepeda dan dansa. Bahkan DIY sudah berencana memberangkatkan 12 atlet sepeda dan 4 atlet dansa. Ia optimistis, DIY bisa meraih 3-4 medali emas dari dua cabang itu. "Tapi itu cerita lalu. Sejak dicoret, semangat atlet dan KONI sudah melemah. Anggaran juga sudah tak disiapkan," ujarnya.
Dengan pencoretan, anggaran DIY hanya disiapkan untuk memberangkatkan 150 atlet saja. Djoko menjelaskan, pencoretan 10 cabang itu datang dari keberatan Papua dengan alasan penyiapan venue. "Tapi saya kira alasanya enggak logis. Cabor yang tidak butuh venue, kok juga dicoret. Kami paham lah, Papua sebagai tuan rumah sudah mengeluarkan cost banyak, ingin berprestasi bagus," ucapnya.
Saat itu, kata Djoko, sebenarnya semua KONI provinsi menolak pencoretan itu, karena cabang tersebut sudah lolos dan masuk ajang pra-PON. "Semua KONI provinsi, minus Papua, kumpul di Parapat mengeluarkan petisi agar 10 cabor tetap dipertandingkan," tuturnya.
Namun akhirnya 10 cabang tetap diputuskan tak dipertandingkan. Pelatihan pun disetop, meski sudah makan banyak biaya. Djoko mencontohkan, untuk beli sepeda saja habis Rp100 juta per unit. Biaya pemusatan latihan Rp60 juta dan akomodasi atlet Rp40 juta untuk tiap atlet. "Keluarnya sudah banyak. Dengan anggaran minim, kami berani [keluarkan banyak biaya] karena ini cabor unggulan. Saat dicoret, kami gelo (kecewa)," ujarnya.
Menurut Djoko, dukungan Provinsi Jawa Timur ketika itu hanya sebatas pada kesediaan menjadi tuan rumah pendamping. Tuan rumah pendamping ini sebetulnya sudah mengikuti peraturan terbaru, bahwa tuan rumah PON boleh lebih dari satu provinsi yang berdekatan. Aturan ini disiapkan untuk PON 2024 yang digelar di dua provinsi, Aceh dan Sumatra Utara. "Tapi Papua kukuh tidak mau. PON tetap di Papua, tidak di tempat lain. Secara rasional, ini enggak akan ketemu," ucapnya.
Djoko mengakui, pembahasan 10 cabor kembali muncul karena didorong sejumlah asosiasi dan pembina olahraga yang dicoret tersebut. Salah satunya, yang dilakukan Ikatan Sepeda Seluruh Indonesia (ISSI) dan pembinanya, Raja Sapta Oktohari. "Pendekatannya enggak main-main, sampai ke Presiden. Kayak gitu mestinya proporsional," katanya.
Gandhi Achmad dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)