Yogyakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo disebut sebagai pihak yang paling ingin segera mengegolkan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Namun UU itu bakal membuat kekuasaan memusat ke pemerintah pusat dan presiden sehingga ia akan susah dikontrol.
Hal itu mengemuka dari pernyataan sikap akademisi Fakultas Hukum (FH) dan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Direktur Pukat UGM Oce Madril menjelaskan, UU Cipta Kerja yang banyak menumpukkan kewenangan pada pemerintah pusat memberi alarm bagi dinamika desentralisasi yang menjadi salah satu roh dalam pelaksanaan kekuasaan di Indonesia.
“Banyaknya pemberian kewenangan kepada pemerintah pusat di dalam Rancangan UU Cipta Kerja rentan terhadap potensi tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang,” ujar dia via keterangan tertulis, Selasa (6/10).
Menurutnya, walaupun tidak serta merta menurunkan angka korupsi, konsep desentralisasi dapat memperluas jaring pengawasan yang melibatkan berbagai pihak.
“Pemusatan kewenangan pada presiden (president heavy) dapat menyisakan persoalan tentang bagaimana memastikan kontrol terhadap kekuasaan presiden itu,” kata pengajar Fakultas Hukum (FH) UGM ini.
Pukat UGM juga mencatat RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan seperti termaktub di pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019. Perkembangan draf pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik.
Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup. Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan pelibatan pengusaha.
“Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha,” kata Oce.
Ia menambahkan, cita-cita menyederhanakan dan menyelaraskan peraturan dalam RUU Cipta Kerja sulit terbaca dan terdeteksi. RUU ini membutuhkan ratusan peraturan pelaksana. Jumlah itu belum termasuk potensi kelahiran anak-anak peraturan pelaksana di bawahnya.
“Peraturan-peraturan di bawah UU merupakan peraturan yang rawan untuk diselundupkan oleh kepentingan karena minimnya kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam perumusannya. Omnibus Law bukan merupakan jawaban atas problem regulasi di Indonesia,” katanya.
Oce juga mengingatkan, diskresi di UU menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyelahgunaan. Apalagi Indonesia belum memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi.
“Pasal ini seperti cek kosong sehingga menyebabkan cakupan diskresi menjadi sangat lebar dan tanpa ada mekanisme pengawasan yang memadai,” kata dia.
Secara terpisah, mantan Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar menyebut Presiden Jokowi sebagai pihak yang paling ingin UU ini terwujud.
“Melihat catatannya, dia yang paling ngebet sebenarnya dengan perkataannya sebelum Lebaran atau Oktober UU ini harus selesai,” kata Zainal saat jumpa pers daring FH UGM.
Zainal tak yakin tekanan publik bakal mengubah sikap Jokowi untuk tak menyetujui UU ini. Apalagi, saat Jokowi tak tanda tangan, UU otomatis akan berlaku.
“Tapi dengan tekanan publik ini presiden menimbang untuk tidak menekennya. Paling tidak ada pernyataan politik presiden,” kata dosen tata negara FH UGM ini.