Perang di Nagorno-Karabakh makin menjadi-jadi. Armenia dan Azerbaijan yang bertetangga, kembali bermusuhan. Rusia yang pernah mendamaikan keduanya, terlihat menahan diri. Mengapa?
Perang Nagorno-Karabakh sudah berlangsung hampir dua pekan. Alih-alih mereda, malah menjadi-jadi. Awalnya pertempuran terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu Fuzuli dan Jabrayil di selatan, Talysh dan Mardakert di timur laut, serta Murovdag di barat laut. Namun dalam beberapa hari terakhir, palagan pertempuran meluas signifikan.
Pada Jumat, 2 Oktober 2020, artileri Azerbaijan menghujani Stepanakert, kota terbesar di Nagorno-Karabakh, dan Hadrut. Pasukan lain berhasil merebut 22 permukiman yang selama ini diduduki Armenia di kawasan Karabakh Atas, seperti disampaikan Kementerian Pertahanan Turki, mengutip sumber-sumber di Azerbaijan.
Sebagai balasan terhadap serangan di Stepanakert, artileri Armenia menyerang Ganja, yang diyakini sebagai basis penyerangan Stepanakert. Ganja, kota terbesar kedua Azerbaijan, sudah berada di luar wilayah Nagorno-Karabakh. Militer juga menyerang desa-desa di Agham, Azerbaijan. Hingga Senin, 5 Oktober 2020, Armenia masih mengirim misil ke kota-kota Azerbaijan lainnya, seperti Beylagan, Barda, dan Tartar.
Benturan keras sejak pekan lalu, dikhawatirkan akan membesar menjadi perang skala penuh dua negara bertetangga ini.
***
Kawasan Nagorno-Karabakh diperebutkan selama puluhan tahun. Berdasarkan hukum internasional, Nagorno-Karabakh diakui sebagai wilayah Azerbaijan. Karena kawasan pergunungan itu berada di dalam wilayah Azerbaijan. Namun, etnis Armenia yang menjadi mayoritas menolak berada di bawah kekuasaan Azerbaijan.
Secara historis, konflik ini bisa ditarik hingga 100 tahun lalu ketika imperium Rusia runtuh pada 1918. Armenia dan Azerbaijan bebas dari kekuasaan imperium Rusia. Awal dekade 1920-an, penguasa Uni Soviet menguasai kembali wilayah yang dikenal dengan nama Kaukasus Selatan. Saat itu, Nagorno-Karabakh menjadi wilayah otonom di Republik Soviet Azerbaijan.
Status itu bertahan hingga akhir dekade 1980-an, saat Uni Soviet mulai rapuh. Negara-negara satelitnya mulai menunjukkan hasrat memisahkan diri dan membentuk negara merdeka. Parlemen Nagorno-Karabakh menggelar pemungutan suara pada 1988 dan hasilnya mereka memilih bergabung dengan Republik Armenia. Keputusan itu ditentang Azerbaijan dan Moskow.
Setelah Uni Soviet runtuh pada 1991, separatis Armenia yang didukung Pemerintah Armenia menguasai wilayah Nagorno-Karabakh. Perang itu juga mencaplok tujuh distrik wilayah Azerbaijan yang menghubungkan Nagorno-Karabakh dengan perbatasan Armenia dan menewaskan sedikitnya 30.000 orang. Sekitar 230.000 etnis Armenia serta 800.000 etnis Azeri harus mengungsi.
Gencatan senjata yang disponsori Rusia disepakati pada 1994. Meskipun perang besar bisa diredam, konflik-konflik kecil sepanjang perbatasan selalu terjadi sepanjang 25 tahun terakhir ini. Termasuk bentrokan besar pada April 2016, yang menyebabkan puluhan orang tewas dari kedua belah pihak. Konflik besar kembali pecah setelah para politisi di Yerevan, Ibu Kota Armenia, diduga sedang menyiapkan integrasi seluruh wilayah Artsakh, nama Nagorno-Karabakh versi Armenia, ke dalam wilayahnya.
Rencana itu mendorong Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, mengambil keputusan menyerang lebih dahulu. Harapannya, serangan tiba-tiba dengan kekuatan militer profesional dan terlatih bisa memberi tekanan serius kepada Armenia. Azerbaijan juga menghitung sikap Rusia, sekutu Armenia, yang akan bersikap netral sepanjang wilayah Armenia tidak diserang dengan sengaja.
Tujuan perang Aliyev jelas. Amernia dan militernya harus keluar dari wilayah yang didudukinya. Jika Armenia mundur, perang akan selesai dan muncul perdamaian seperti disampaikan dalam wawancara dengan Al Jazeera. "Setelah perang berakhir, mungkin suatu saat nanti orang Azerbaijan dan Armenia dapat hidup bersama lagi, dalam damai," ujarnya.
Aliyev tidak memberikan indikasi bahwa permusuhan akan berakhir dalam waktu dekat. "Saya pikir pemerintah Armenia melebih-lebihkan apa yang disebut pentingnya di arena global, melebih-lebihkan kemungkinan dukungan internasional kepada mereka, dan membuat kesalahan yang sangat serius memprovokasi kami, menyerang kami, dan sekarang mereka menderita kekalahan yang sangat serius," tuturnya.
Dari Baku, Ibu Kota Azerbaijan, Aliyev dengan tegas mengatakan tidak akan berhenti sebelum seluruh wilayah yang diduduki Armenia dibebaskan.
***
Menurut Dr. Domitilla Sagramoso, pengajar di Department of War Studies, King’s College London, posisi yang diambil Aliyev akan menyulitkannya untuk menyetujui gencatan senjata tanpa kehilangan muka, jika operasi militernya tidak berjalan sesuai rencana. "Meskipun begitu, penggunaan kekuatan [militer] memberi Baku kekuatan lebih ketika masuk ke meja perundingan penentuan masa depan Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitarnya yang diduduki. Mulai sekarang, Armenia akan mempertimbangkan Azerbaijan akan menggunakan kekuatan militernya lagi jika perundingan gagal. Yerevan akan merasakan tekanan untuk memberi konsesi yang berarti, jika tidak ingin kekerasan dalam skala besar terulang kembali dengan risiko kehilangan kawasan lebih banyak," ia memaparkan dalam tulisannya di laman The Moscow Times, Senin, 5 Oktober 2020.
Bagi Armenia, situasinya tidak seperti perang 1991-1994 lalu. Saat itu Prancis, Amerika Serikat, dan Rusia (pendiri OSCE Minsk Group) akan mendorong kedua belah pihak ke meja perundingan Turki dan Iran, dua negara tetangga di kawasan itu yang berpengaruh juga kompak mendorong penyelesaian damai.
Situasi sekarang, saat negara-negara Minsk Group dan Iran mendesak gencatan senjata, Turki justru mendukung aksi militer sekutunya Azerbaijan. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengatakan bahwa operasi militer Azerbaijan berhenti jika Armenia menarik sepenuhnya dari kawasan yang diduduki, yang disebutnya sebagai hak membela diri Azerbaijan.
Yang paling repot, yaitu Rusia. Armenia dan Azerbaijan punya ikatan sejarah dengan Rusia. Dahulu, ketiganya tergabung dalam Uni Soviet. Kini kedua negara itu memiliki peran penting bagi Rusia. Armenia menjadi benteng pertahanannya di kawasan selatan, khususnya yang berbatasan dengan Turki, yang merupakan anggota NATO. Adapun Azerbaijan berjasa kepada Rusia dalam perang melawan teror.
Dilema ini membuat Putin lebih berhati-hati dan menahan diri untuk tidak menunjukkan dukungan terbuka kepada Armenia, sekutunya di Kaukasus Selatan yang tergabung dalam Collective Security Treaty. Tim diplomatnya bekerja keras di balik layar, memastikan kekerasan bisa diselesaikan dengan cepat, sekaligus menyeimbangkan posisi Rusia antara Armenia dan Azerbaijan, dua sekutunya di Kaukasus Selatan.
Namun ada yang berspekulasi sikap Kremlin terlihat seperti menahan diri, karena isu Nagorno-Karabakh tidak seksi-seksi amat untuk kepentingan luar negerinya. Ada juga yang mengganggap sikap Rusia sebagai "hukuman" bagi Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan, yang dalam dua tahun terakhir condong ke Uni Eropa.
Rosyid
Jalur Migas Asia-Eropa
- Situasi yang terjadi di kawasan itu menarik perhatian banyak pihak, karena wilayah itu menjadi koridor pipa minyak dan gas ke pasar dunia.
- Zona konflik terletak hanya 30-40 kilometer dari jalur pipa minyak mentah Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC), jaringan utama minyak Azerbaijan ke pasar dunia dan pipa gas Kaukasus Selatan (South Caucasus gas pipeline/SCP), yang terhubung ke Turki serta Eropa.
- Jaringan pipa ini menjadi jantung ekonomi Azerbaijan. Minyak dari Azerbaijan mengalir keluar lewat jaringan pipa yang melalui Georgia, Rusia, dan Turki.
- Total produksi minyak Azeri berjumlah 780.000 bpd tahun lalu, menurut BP Statistical Review, 80% di antaranya berasal dari Kompleks Azeri-Chirag-Deepwater Gunashli (ACG) yang dioperasikan oleh BP.