Jakarta, Gatra.com - Omnibus Law UU Cipta Kerja digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan, sejak Februari 2020 pihaknya menolak keseluruhan UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan.
KPA sendiri, lanjutnya, telah menyampaikan sikap dan aspirasi penolakan dengan beragam cara, termasuk melalui aksi massa sejak Juli sampai September 2020 di tingkat nasional dan daerah.
"Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, sistem ekonomi-politik agraria yang ultraneoliberal dalam UU Cipta Kerja, dengan cara mendorong liberalisasi lebih luas sumber-sumber agraria dan sistem pasar tanah nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi kita," kata Dewi dalam keterangannya, Selasa (6/10).
Dewi menilai, UU Cipta Kerja yang disahkan DPR RI membuat kapitalisme agraria diperkokoh di Indonesia.
Selain itu, DPR dianggap tidak mempunyai sensitifitas krisis di masa pandemi Covid-19, juga bertindak mengelabui rakyat dengan memajukan lebih cepat Sidang Paripurna Pembahasan Tingkat II membahas keputusan RUU Cipta Kerja, yang sedianya dijadwalkan 8 Oktober 2020. "Sekali lagi, kewibawaan institusi wakil rakyat, prinsip keterbukaan proses dan kepercayaan publik dihancurkan DPR RI," ujarnya.
KPA pun mengecam keras langkah inkontitusional oleh DPR RI. Katanya, sejarah ironi mengingat DPR RI yang diberikan mandat oleh seluruh bangsa untuk menjaga dan menegakkan Konstitusi justru mengingkari konstitusi.
Tugas legislasi (produksi UU) seolah segalanya, sehingga elit politik dan kekuasaan lebih memilih mengingkari UUD 1945 dan UUPA 1960 demi orientasi investasi skala besar.
"Banyak pula keputusan Mahkamah Konsitusi yang menyangkut agraria, hajat hidup petani dan rakyat kecil telah dilanggar dengan disahkannya UU Cipta Kerja," sebut Dewi.
Kemudian menurut Dewi, DPR dan Pemerintah telah mengklaim agenda Reforma Agraria menjadi bagian dari keberpihakan UU.
Pernyataan yang dilontarkan di antaranya oleh Taufik Basari (Anggota Baleg Fraksi Nasdem) dan Airlangga Hartanto (Menko Perekonomian), ditegaskannya, adalah bentuk penyesatan publik.
"Memperjelas ketidakpahaman pejabat publik dan pejabat politik tentang esensi dan prinsip pokok reforma agraria. Melegitimasi hasrat ekonomi politik ultraneoliberal dengan menggunakan agenda politik kerakyatan reforma agraria sebagai tameng pengesahan UU adalah penyesatan publik," tegasnya.
"Reforma agraria dengan basis pemenuhan keadilan sosial untuk petani dan rakyat kecil tidak mungkin diletakan dalam dasar-dasar pengadaan tanah bagi investor kakap, yang selama ini banyak berpraktik merampas dan menggusur tanah rakyat," imbuh Dewi.