Jakarta, Gatra.com - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, mengkritisi beberapa poin dalam surat Telegram Rahasia (TR) Kapolri Jenderal Pol Idham Azis dalam menanggapi isu aksi buruh yang menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Polri disebut tak punya hak mencegah aksi, dianggap diskriminatif, hingga disebut melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dalam TR yang berisi 12 poin itu, Asfinawati membedah beberapa poin yang bermasalah. Pertama, pada bagian satu, Idham Azis memerintahkan dilaksanakan “giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial".
Asfinawati menjelaskan, poin itu bermasalah karena sebenarnya Polri tidak punya hak mencegak unjuk rasa. Bahkan sebaliknya, menurut Pasal 13 UU 9 Tahun 1998 dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Lalu pada bagian tiga, Idham memerintahkan “cegah, redam dan alihkan aksi” unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aksi aliansinya guna mencegah penyebaran Covid-19. Asfinawati mengatakan, upaya tersebut diskriminatif karena menyasar peserta aksi.
"Padahal, sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan bahkan bandara. Sebaliknya, dua aksi tolak Omnibus Law sebelumnya terbukti tidak menimbulkan cluster baru Covid-19," kata dia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Gatra.com, Selasa (6/10).
Lanjut pada bagian lima TR itu berbunyi “lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik” yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi Covid-19. Kemudian bagian enam, Idham memerintahkan “lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah”.
Dua poin itu, kata Asfinawati, merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Hal ini tak berbeda jauh pada poin pertama.
"Seperti pada poin pertama, polisi tidak punya wewenang mencegah aksi. Selain itu menurut Pasal 30 UUD 1945 & amandemennya, tugas Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah," papar dia.
Selain itu, lanjut dia, kata “mendiskreditkan” adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada Pemerintah. Asfinawati mengatakan, kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan.
Kemudian pada bagian tujuh, Kapolri memerintahkan “secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya”. Kemudian pada bagian 8 Kapolri memerintahkan “upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup”.
"Hal ini diskriminatif dan melanggar amandemen UUD 1945," kata dia.
Lanjut pada bagian 10, Idham memerintahkan bawahannya untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum dengan menggunakan UU Kekarantinaan kesehatan. Dalam UU 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan hanya ada 5 Pasal pidana; satu tentang nahkoda, satu tentang penerbang, satu tentang pengemudi, dan satu tentang korporasi.
Dari UU tersebut, yang dimaksud Telegram Kapolri hanya mungkin Pasal 93 yang berbunyi “setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana ...”.
"Artinya, Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan baru berlaku saat terjadi akibat dan tidak mungkin diketahui pada saat aksi apalagi sebelum aksi. Bahkan, berbagai laporan menunjukkan adanya cluster perkantoran tetapi Polri tidak pernah menggunakan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan untuk pengusaha ataupun pejabat yang memerintahkan pekerja atau pegawai tetap bekerja," ujar dia.
Asfinawati menilai, sebelum aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja ini sebenarnya telah ada beberapa aksi dengan tema lain dan tidak mendapat perlakuan ketat seperti ini. Karena itu, ia menduga, sulit dibantah surat telegram ini muncul karena Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah inisiatif pemerintah.
"Presiden sejak awal bahkan menginginkan RUU ini selesai dalam waktu 100 hari," katanya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menerbitkan surat Telegram Rahasia (TR) soal antisipasi adanya aksi besar dan mogok kerja akibat pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Rencana awalnya, aksi itu akan digelar buruh pada 6-8 Oktober 2020. Namun, DPR telah mengesahkan rancangan UU itu pada Senin kemarin (5/10).
Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 itu ditandatangani oleh Asops Irjen Imam Sugianto atas nama Kapolri Jenderal Idham Azis. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, membenarkan penerbitan itu dan berdalih tujuan utamanya adalah melindungi masyarakat dari kerumunan, agar mencegah penyebaran Covid-19.
“Benar telegram itu, sebagaimana pernah disampaikan Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto," kata Argo.
Berikut 12 poin TR Kapolri Jenderal Idham Azis dalam mengantisipasi demonstrasi buruh:
1. Melaksanakan giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya aksi unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial di wilayah masing-masing.
2. Mapping perusahaan/sentra produksi strategis di wilayah masing-masing dan berikan jaminan keamanan dari ancaman/provokasi yang memaksa ikut unras dan mogok kerja.
3. Cegah, redam, dan alihkan aksi unras yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aliansinya guna mencegah penyebaran Covid-19.
4. Melakukan koordinasi dan bangun komunikasi yang efektif dengan APINDO, Disnaker, tokoh buruh, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya dalam rangka memelihara Sitkamtibmas kondusif di tengah pandemi Covid-19.
5. Lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah Pandemi Covid-19.
6. Lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.
7. Secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya.
8. Upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan PAM terbuka dan tertutup.
9. Jangan lakukan pencegatan di jalan tol karena dapat berimbas penutupan jalan tol yang dapat menjadi isu nasional dan internasional (Ini Justru Yang Mereka Kehendaki).
10. Lakukan gakkum terhadap pidana gunakan pasal-pasal KUHP, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan lain-lain.
11. Siapkan renpam unras dengan tetap mempedomani PERKAP No 16 Tahun 2006 tentang pengendalian massa, PERKAP NO 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dan protap nomor 1 tahun 2010 tentang penanggulangan anarkis.
12. Melaporkan kesiapan dan setiap giat yang dilakukan kepasa Kapolri, Asops Kapolri.