Jakarta, Gatra.com - Lembaga penelitian dan pengawasan HAM, Imparsial, menilai RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah disahkan menjadi undang-undang merupakan produk hukum yang cacat prosedur dan melanggar hak konstitusional warga negara. Pengesahan UU itu sendiri telah dilakukan DPR pada Senin (5/10) kemarin sebelum memasuki masa reses.
Direktur Imparsial, Al Araf, membeberkan rinciannya. Pertama, proses penyusunan dinilai cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil. Terlebih lagi, pembahasan tersebut dilakukan di tengah konsentrasi seluruh elemen fokus menangani pandemi Covid-19.
Sebelum disahkan, Araf mengatakan, draf UU Cipta Kerja tidak disosialisasikan secara baik kepada publik, bahkan tidak dapat diakses oleh masyarakat sehingga masukan dari publik menjadi terbatas. Menurutnya, hal itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 89 jo. 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses terhadap RUU kepada masyarakat.
"Satgas Omnibus Law Cipta Kerja bentukan pemerintah yang sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha juga dinilai eksklusif serta tidak mengakomodasi aspirasi masyarakat yang terdampak UU," kata Araf dalam keterangan resminya, Senin (5/10).
Kedua, substansi pengaturan dalam UU Cipta Kerja memiliki banyak pasal-pasal yang bermasalah. Araf menyebut salah satunya adalah terdapat pasal-pasal yang menghidupkan kembali aturan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Salah satu contohnya, ia menyebut terdapat pasal yang mengatur tetang Peraturan Pemerntah (PP) yang dapat digunakan untuk mengubah UU. Hal ini menabrak ketentuan konstitusi dan aturan perundang-undangan lainnya, khususnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa PP memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan UU, sehingga PP tidak bisa membatalkan atau mengubah UU.
Masalah lainnya, lanjut dia, terlihat dalam aspek ketenagakerjaan yang menghapus hak cuti dan hak upah atas cuti yang jelas merugikan para pekerja atau buruh di Indonesia.
"Belum lagi soal pemangkasan uang pesangon dari 32 bulan menjadi 25 bulan, hal ini tentunya sangat merugikan para pekerja atau buruh," terang dia.
Araf pun membedah aspek pengadaan tanah bagi kepentingan investasi juga sangat berpotensi merugikan petani di Indonesia dan pada aspek lingkungan hidup yang menghapus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai syarat wajib izin usaha dan mengganti hanya menjadi sebagai bahan pertimbangan.
"Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa UU [Omnibus Law] Cipta kerja berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara, merugikan para buruh, merugikan petani, merugikan hak-hak masyarakat adat, serta berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup di Indonesia," tukasnya.
Atas dasar tersebut, Araf menegaskan pihaknya menolak UU Cipta Kerja Omnibus Law yang disahkan DPR, terlebih lagi pembahasan tersebut dilakukan secara tidak lazim di tengah pandemi.