Proyek lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah juga melibatkan Bulog sebagai off taker. Kini badan yang dipimpin Budi Waseso itu bersigap membangun gudang dan rice milling yang ditargetkan beroperasi Oktober mendatang. Sudah efektifkah Bulog menjaga rantai pasok logistik tetap aman?
GATRAreview.com - Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengingatkan terjadinya krisis pangan di masa pandemi Covid-19. Dalam kajian terbarunya, FAO mengidentifikasi 27 negara terancam akan mengalami krisis pangan. Di Asia, kelaparan mengancam negara seperti Afghanistan dan Bangladesh. Sementara di Timur Tengah, risiko krisis pangan melanda Irak, Lebanon, Sudan, Yaman dan Suriah.
Guna meminimalisir risiko tersebut pemerintah berupaya membangun ketahanan pangan nasional. Salah satu program ketahanan pangan nasional yang diinstruksikan Presiden Jokowi yakni membangun proyek food estate di Kalimantan Tengah. Jika rencana lahan tersebut terwujud diprediksi menyumbang sekitar 20 persen bagi cadangan pangan nasional.
Proyek itu akan dipimpin oleh Kementerian Pertahanan bersama Kementerian Pertanian dan Bulog. Bulog yang selama ini diberi penugasan sebagai off taker dalam menyerap hasil panen petani siap mendukung terwujudnya pembangunan food estate oleh pemerintah seluas 165 ribu hektare di Kalimantan Tengah.
“Hasil penyerapan dari lumbung pangan tersebut utamanya akan menjadi cadangan beras pemerintah yang memiliki manfaat sebagai instrumen untuk penanggulangan keadaan darurat dan kerawanan pangan pasca bencana,” ujar Dirut Perum Bulog, Budi Waseso kepada Gatra review pertengahan Agustus lalu.
Pria yang karib disapa Buwas itu mengatakan Bulog tengah mempersiapkan pembangunan lumbung pangan yang berlokasi di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dimana di kawasan itu terdapat 48 ribu hektare lahan yang mampu memproduksi 4 ton setara beras per hektare setiap tahunnya.
Budi Waseso menargetkan pembangunan gudang dan rice milling dapat selesai dan dapat digunakan pada Oktober 2020. “Dari 165 ribu hektare luas proyek food estate yang direncanakan, ada 48 ribu hektare sawah di Pulang Pisau yang sudah produksi. Artinya produksi akan banyak, belum daerah-daerah lain yang sekarang mulai tanam, artinya akan menjadi sumber swasembada pangan baru di Indonesia,” katanya.
Mantan Kepala BNN itu mengatakan Bulog sering terlibat dalam pengerjaan proyek hilirisasi pangan. Pembuatan lumbung pangan nasional menurutnya sangat membantu program swasembada pangan yang digagas pemerintah. Saat ini terdapat 1,4 juta ton beras yang dikelola Bulog dan cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Kami sangat mengapresiasi pemerintah dalam mewujudkan lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Nantinya Bulog sebagai bagian dari BUMN Cluster Pangan akan menggarap hilirisasi atau sebagai off taker,” ujar Buwas.
Pengamat pangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Masyhuri mengatakan dalam kondisi sulit seperti saat ini Bulog seharusnya meningkatkan kapasitas pangannya. “Antisipasi ketersediaan pangan di masa pandemi harus melihat kondisi terburuk,” ujar Prof. Masyhuri kepada Gatra review pada akhir Juli lalu.
Pengajar Fakultas Pertanian UGM itu mengatakan jumlah beras yang dicadangkan Bulog selama ini masih sedikit yakni berkisar 1 juta ton. Ia menyatakan kebutuhan beras Indonesia sebanyak 29 juta ton setahun. Sementara kapasitas gudang Bulog saat ini baru berkisar 3,5 juta ton.
“Saya pernah rekomendasikan satu seperempat juta ton. Itu di masa biasa, harusnya lebih besar lagi di masa pandemi. Kalau sepenuhnya menggantungkan cadangan beras di gudang Bulog berarti masih kurang. Cadangan itu harus super banyak,” ujar Masyhuri.
Peran Bulog menurutnya tidak terbatas pada penyimpanan dan tatakelola beras, tetapi juga komoditas pangan lainnya. “Cadangan harus diperbesar, macam [jenis] pangan juga mesti diperlebar. Dulu cuma beras, sekarang mestinya pangan strategis,” ucap peraih Adhikarya Pangan Nusantara 2014 itu.
Ia menjelaskan pada masa normal, Bulog telah menyimpan cadangan beras. Beras Bulog paling banyak disalurkan selama off season yakni Oktober-Januari. Sehingga pada periode pandemi, Bulog seharusnya masih punya stok. “Tapi sekarang Bulog sudah mengeluarkan karena ada bantuan presiden sehingga [stok] tipis,” ujarnya.
Masyhuri menyarankan agar cadangan dibuat melewati kapasitas gudang Bulog yakni 3,5 juta ton. Caranya bisa dengan menyewa gudang dan bekerja sama dengan pihak swasta. “Ini harus dilakukan pemerintah, Bulog cuma aktornya.”
Bulog menurutnya juga bisa mengambil fungsi distribusi pangan selama masa pandemi karena punya gudang di berbagai penjuru tanah air. Masyhuri mengakui peran-peran Bulog itu terkendala di masa pandemi terutama karena gangguan transportasi pada petugas dan layanan di pelabuhan.
Program lumbung pangan nasional menurut Masyhuri penting untuk menopang stok bulog yang hanya 3,5 juta ton. “Perbedaan ini harusnya di lumbung pangan dan digalakkan dan dimonitoring di masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat pangan INDEF, Rusli Abdullah berpendapat di masa pandemi Covid-19 ini Bulog cukup sukses menjaga pasokan dan stabilisasi harga pangan. Yang menjadi pekerjaan utama Bulog di masa krisis ini yakni menjaga distribusi pangan sampai ke masyarakat.
“Untuk masa pandemi sesuai target Bulog tidak ada kenaikan harga [komoditas]. Yang perlu diperhatikan yakni Bulog membantu pemerintah dalam mendistribusikan pangan agar tersedia bagi orang yang terdampak Covid-19,” kata Rusli kepada wartawan Gatra review, Wahyu Wachid Anshory pada Juli lalu.
Menurutnya Bulog sudah membangun beberapa terobosan dalam meningkatkan rantai pasok. Hanya saja hal tersebut perlu dimaksimalkan. “Hanya memang ada inisiatif sendiri di luar Bulog yang kemudian membuat komunitas dan platform online dan sebagainya”.
Melalui program PEN, pemerintah menyalurkan bansos untuk petani dimana Bulog dapat berperan mendistribusikan beras dan minyak goreng. Distribusi yang tepat sasaran, tepat waktu dan tepat harga ke pihak yang membutuhkan diharapkan mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi di kuartal III.
Dalam rangka ketahanan pangan, Rusli menyebut Bulog saat ini baru fokus ke beras. Sementara pemerintah punya program diversifikasi pangan untuk konsumsi jagung atau sumber karbohidrat non beras. Sehingga meski harga beras naik, pemerintah punya opsi lainnya.
“Padahal ketahanan pangan itu sumber pangannya bervariasi jangan hanya berfokus pada satu komoditas. Di atas kertas bagus untuk meningkatkan produksi cuma sayangnya kenapa hanya beras?. Padahal esensi dari ketahanan pangan yakni dengan diversifikasi pangan,” ujarnya.
Andhika Dinata, Erlina Fury Santika, dan Arief Koes Hernawan