Jakarta, Gatra.com - Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah sepakat membawa Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) ke Rapat Paripurna pada 6-8 Oktober nanti, untuk kemudian dapat segera disahkan menjadi Undang-undang (UU). Keputusan itu diambil setelah RUU dibahas dalam waktu beberapa bulan saja.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menilai, setidaknya ada dua aktor utama yang diuntungkan jika RUU Omnibus Law Ciptaker disahkan nanti. Pertama, pengusaha-pengusaha kotor tanah air dari seluruh sektor usaha.
"Berdasarkan sejarah dan langkah pembahasannya di DPR, dan lihat kontennya, satu yang diuntungkan pasti pebisnis kotor. Itu udah pasti," kata dia dalam diskusi virtual, Minggu (4/10).
Pengusaha kotor yang dimaksud Teguh merupakan pengusaha yang berusaha mempertahankan status quo perusahaan mereka. Artinya, bisnis yang dijalankan lebih berorientasi pada tren yang terjadi saat ini dan sebelumnya.
Sebaliknya, pengusaha yang memiliki bisnis berkelanjutan untuk menciptakan produk-produk ramah lingkungan akan merasa sangat dirugikan dengan adanya RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Pasalnya, dengan adanya peraturan ini akan merusak seluruh rencana kerja mereka, itulah yang kemudian dapat secara langsung menurunkan kinerja perusahaan.
"Jadi aturan ini sebenarnya mencampuradukkan antara perusahaan yang sudah memiliki niat untuk menciptakan produk-produk berkelanjutan dengan perusahaan-perusahaan yang masih status quo, yang ingin berbisnis dengan cara kotor," tegas dia.
Aktor selanjutnya yang bakal diuntungkan dengan disahkannya RUU ini adalah pejabat yang juga merangkap sebagai pebisnis atau mereka yang berafiliasi dengan perusahaan tertentu. Baik itu pejabat di pemerintah pusat maupun pejabat di pemerintahan daerah (Pemda).
"Banyak sekali ini di DPR, bahkan menteri, wakil menteri, itu sudah menjadi rahasia umum. Itu punya bisnis, termasuk bisnis-bisnis yang sempat kontroversial. Begitu juga dengan daerah. Pejabat daerah sampai kepala desa yang juga pebisnis," imbuh Teguh.
Bahkan, menurut Team Leader Greenpeace Indonesia Arie Rompas, kebanyakan anggota DPR dan perwakilan pemerintah yang melakukan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja memiliki bisnis sendiri. Setidaknya ada 45 persen anggota parlemen atau sekitar 262 anggota anggota parlemen yang menduduki posisi tingkat tinggi di perusahaan, atau berafiliasi dengan perusahaan.
Nama mereka muncul dalam catatan registrasi perusahaan dari 1.016 perusahaan yang mencakup berbagai sektor. Belum lagi, satuan tugas (Satgas) Omnibus Law yang berjumlah 127 orang juga memiliki latar belakang sebagai pengusaha.
"Dimana di situasi sekarang, pemain bisnis jahat itu menggunakan instrumen hukum, melemahkan hukum, bahkan membangkang secara hukum, karena memang lemahnya negara. Ini yang saya sebut step capture corruption sedang terjadi. Negara sedang dilemahkan oleh oligarki," kata Arie.