Jakarta, Gatra.com - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman berharap aparat penegak hukum bisa segera memeriksa pihak-pihak siapa saja yang mengetahui dan diduga ikut terlibat dalam praktik manipulasi laporan keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero), seperti yang diungkapkan terdakwa yakni, Hary Prasetyo, Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018.
"Semoga dari nota pembelaan terdakwa kemarin aparat penegak hukum bisa membongkar secara terang-benderang kasus korupsi Jiwasraya," kata Boyamin kepada wartawan, Rabu (30/9).
Dalam nota pembelaannya kemarin (29/9), Hary mengakui bahwa dirinya bersama Mantan Direktur Utama Jiwasraya, Hendrisman Rahim, telah melakukan manipulasi laporan keuangan atau window dressing sejak pertama kali ia ditunjuk sebagai pimpinan Jiwasraya pada 2008 silam.
Praktik manipulasi laporan keuangan atau window dressing Jiwasraya ini, kata Hary, diketahui oleh jajaran Kementerian BUMN selaku pemegang saham dan pejabat Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas.
Terkait pernyataan Hary Prasetyo di dalam nota pembelaannya, Boyamin mengatakan, sudah seharusnya terdakwa lain yakni Syahmirwan juga bisa mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi di Jiwasraya tanpa melakukan distorsi informasi.
Pasalnya, kata Boyamin, pada saat mendengar isi pledoi yang dibacakan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya itu disebutkan bahwa penyebab masalah Jiwasraya adalah kebijakan yang diambil Direksi baru periode 2018-2023. Hal yang tidak masuk akal karena jajaran Kementerian BUMN telah melakukan pergantian direksi sebanyak tiga kali sejak mencopot Hendrisman dan Hary Prasetyo dicopot dari kursi pimpinan Jiwasraya.
"Pergantian-pergantian ini menunjukkan bahwa saat itu pemerintah sudah mengetahui kondisi Jiwasraya yang sesungguhnya. Saya yakin jika terdakwa masih di Jiwasraya, tentunya Jiwasraya akan jebol dan gagal bayar juga," ungkap Boyamin.
Pertama, Muhammad Zamkhani pada Januari 2018. Kedua, Asmawi Syam pada Mei 2018 yang mulai berlaku efektif pada Agustus 2018. Ketiga, Hexana Tri Sasongko pada November 2018 yang baru efektif pada Januari 2019.
Selain praktik window dressing, Boyamin menyebut , faktor yang menyebabkan Jiwasraya memiliki utang hingga Rp54 triliun per Juli 2020 juga dilatarbelakangi oleh keberadaan produk-produk asuransi dengan bunga pasti yang tinggi. Masalah Jiwasraya pun kian bertambah ketika manajemen lama menempatkan portofolio investasi Jiwasraya pada saham-saham gorengan milik terdakwa lainnya yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat.
"Jika mengacu Rilis MA mengenai tuntutan atas kerugian negara dengan angka di atas Rp100 miliar harusnya semua terdakwa dituntut seumur hidup. Begitu juga dengan Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat yang menikmati uang lebih dari Hary Prasetyo dan Syahmirwan," jelas Boyamin.
Akibatnya, pada saat nasabah ingin mencairkan dananya manajemen Jiwasraya sudah tidak memiliki aset yang likuid hingga akhirnya mengalami gagal bayar di era Asmawi Syam pada Oktober 2018 dan mengalami kerugian Rp16,8 triliun mengacu angka Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di fase inilah letak permasalahan yang menjadi pokok perkara dari dugaan korupsi di Jiwasraya.