Bogor, Gatra.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja masih menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan. Pasalnya, banyak pendapat yang menyebut, muatan materi hukum dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini berpotensi merugikan pekerja.
Beberapa poin yang jadi sorotan masyarakat dalam RUU Cipta Kerja ini antara lain waktu kerja, rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA), pekerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), alih daya atau outsourcing, upah minimum, pesangon PHK, dan program jaminan kehilangan pekerjaan. Ketujuh dimuat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang akan direvisi dalam Omnibus Law Cipta Kerja.
Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto, draft RUU Cipta Kerja yang saat ini beredar di masyarakat dinilai sangat merugikan pekerja. Bahkan, dampak terburuknya berimbas pada kesejahteraan para pekerja.
“Kami perlu mengantisipasi karena Serikat Pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja yang bersifat bebas, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna melindungi dan membela hak serta kepentingan pekerja,” katanya pada acara rapimnas FSP RTMM-SPSI di Bogor, Rabu (30/9).
Oleh karena itu, lanjut Sudarto, pihaknya telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi, DPR, dan Kementerian terkait yang menjelaskan RUU Omnibus Law meresahkan pekerja. FSP RTMM-SPSI memiliki tiga keinginan yang tidak boleh diabaikan pemerintah begitu saja.
Pertama, meminta semua hak dan perlindungan tenaga kerja tetap terjaga sebagaimana mestinya. Kedua, industri sebagai sawah ladang pekerja diperhatikan dan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang agar bisa mensejahterakan pekerjanya dan memperluas lapangan kerja. Ketiga, peran serikat pekerja sebagai wakil pekerja hendaknya diberikan porsi dalam pengambilan keputusan kebijakan ketenagakerjaan maupun regulasi yang menyangkut ketenagakerjaan.
“Selama Omnibus Law tidak mengganggu usulan tersebut, kami mendukung. Tapi kalau mengganggu, kami pasti menyatakan menolak,” tegas Sudarto.
Selain RUU Omnibus Law, lanjutnya, sektor industri hasil tembakau (IHT) juga menghadapi regulasi yang dinilai menghambat keberlangsungan industri tembakau. Mulai dari kenaikan harga jual eceran (HJE), rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012, hingga rencana ekstensifikasi cukai.
“Kenaikan tarif cukai dan HJE ibarat agenda tahunan yang mencekik Industri Hasil Tembakau (IHT). Beleid tersebut berimbas pada pengurangan produksi, khususnya industri sigaret kretek tangan (SKT) dan berdampak pada efisiensi tenaga kerja,” jelasnya.
Berdasarkan data FSP RTMM-SPSI selama 10 tahun terakhir, ada 63 ribu pekerja rokok yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Jumlah industri ini berkurang dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 di 2019.
“Penyesuaian tarif cukai dan HJE berdasarkan target penerimaan dalam APBN menyulitkan kalangan industri dalam merencanakan produksi dan penetapan harga jual produk. Kami setiap tahun selalu mendorong agar kenaikannya moderat dan kalau memungkinkan berdasarkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
Seharusnya, tambah Sudarto, regulasi yang dibuat pemerintah mempertimbangkan kepentingan semua pihak terutama tenaga kerja. Pasalnya, para pekerja merupakan lini paling terdampak dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait ketenagakerjaan.
“Pemerintah harus bisa menjaga keberlangsungan IHT serta industri makanan dan minuman yang merupakan ladang penghidupan jutaan masyarakat Indonesia. Untuk sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT), sebaiknya mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena produk asli Indonesia,” katanya.