Batam, Gatra.com - Pembabatan Hutan lindung secara masif kembali marak terjadi di Kota Batam, Kepri. Kali ini, lahan hutan mangrove seluas 9 Hektar ditimbun kemudian disulap menjadi kavling siap bangun (KSB).
Hutan lindung tersebut berada tidak jauh dari Kampung Tua Dapur 12, Kecamatan Sagulung, Kota Batam, Kepri, yang diduga dibabat oleh oknum perangkat RW setempat untuk kemudian dijadikan kavling siap bangun (KSB).
Padahal, berdasarkan Peraturan Kementrian Linkungan Hidup dan Kehutanan, lokasi hutan bakau atau mangrove tidak dapat dilakukan penimbunan apalagi dibabat habis dengan alasan apapun.
Informasi yang berhasil dihimpun, lahan KSB ini kemudian dijual oknum kepada masyarakat dengan mengatasnamakan relokasi Kampung Tua Dapur 12. Parahnya, oknum yang tidak bertanggungjawab itu juga menawarkan kavling tersebut melalui akun media sosial facebook.
Harga yang ditawarkan juga bervariasi, sesuai ukuran lahan kaveling yang diperjualbelikan. Oknum perangkat RW menjual ke masyarakat kaveling ukuran 15 meter x 10 meter dengan harga Rp15 juta, sedangkan 20 meter x 15 meter dengan harga Rp20 juta.
Dilokasi lahan hutan lindung tersebut, kini sudah rata dengan tanah usai dilakukan pematangan lahan (cut and fill), dan sebagian sudah dibangun rumah oleh pembeli. Anehnya, warga luar Kampung Tua Dapur 12 boleh membeli kavling tersebut, sementara KSB tersebut disebut oknum perangkat RW diperuntukkan untuk relokasi warga Kampung Tua Dapur 12 yang berada tidak jauh dari lokasi.
Salah satu warga yang ditemui dilokasi menerangkan, harga KSB yang ditawarkan kepada pembeli juga bisa dinegosiasi antar kedua belah pihak sesuai kemampuan finasial. "Masih bisa tawar bang kalau harganya. Kan tak semua orang punya duit. Kalau orang sini mungkin bisa dapat murah," katanya.
Padahal, seperti diketahui, Badan Pengusahaan (BP) Batam sejak Oktober Tahun 2016 lalu telah menghentikan program Kavling Siap Bangun (KSB).
Bahkan BP Batam membuat infografis soal penghentian program Kavling Siap Bangun (KSB) oleh BP Batam dan telah menyebarkannya ke media sosial terkait larangan itu.
Direktur Promosi dan Humas BP Batam, Dendi Gustdinar mengatakan, infografis ini sengaja dibuat pihaknya, menyikapi banyaknya informasi di lapangan, tentang adanya penjualan kaveling atas nama KSB.
Apabila masyarakat mendapatkan penawaran berkedok KSB, hati-hati banyak penipuan. "Masyarakat bisa bertanya dan melakukan pengecekan di Kantor BP Batam. Hati-hati penipuan, jangan sampai kita jadi korban," terangnya.
Pembabatan hutan lindung yang berkedok relokasi warga Kampung Tua secara ilegal seakan luput dari pengawasan pemerintah setempat. Kendati demikian, instansi yang membidangi pengawasan hutan lindung di Kota Batam telah menyatakan lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung serta daerah konservasi hutan mangrove.
Kepala Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Kota Batam Lamhot M Sinaga mengatakan, kawasan itu telah dinyatakan lokasi hutan lindung dan hutan mangrove yang tidak dapat dikelola dengan alasan apapun.
Menurutnya, lokasi yang berdekatan dengan titik Kampung Tua Dapur 12 itu berdasarkan penetapan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merupakan kawasan konservasi hutan mangrove untuk mencegah abrasi aibat dampak kerusakan lingkungan
Upaya untuk mencegah aksi pembabatan hutan lintung, diakuinya juga pernah dilakukan. Namun, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tetap melakukan aksi ilegal tersebut tanpa memikirkan kerusakan kawasan sekitar demi mendapat keuntungan.
Lokasi pembabatan dan penimbunan hutan mangrove yang berada tak jauh dari lokasi pemukiman Kampung Tua adalah hutan lindung. "Kami juga telah melakukan tindakan memberi himbauan bahkan pemasabgan plang larangan untuk tidak melakukan aktifitas penimbunan. Namun tidak pernah diindahkan," katanya.
Kordinator Wilayah (Korwil) Rumpun Khazanah Warisan Batam (RKWB) Kecamatan Sagulung, Batam, Firmansyah mengatakan, pembabatan dan penimbunan hutan lindung di kawasan Dapur 12 Sagulung, Batam, dengan berdalil relokasi Kampung Tua tidak berdasar dan melanggar hukum.
Sebab, Firman merinci, dilokasi tersebut tidak ada penambahan titik Kampung Tua yang akan mendapatkan sartifikat tanah hak milik dari Pemerintah Pusat. Rencananya yang akan mendapat sartifikat, hanya yang berada di 37 titik lokasi yang telah ditetapkan oleh instansi terkait dengan rekomendasi RKWB berdasarkan data warga sekitar 209.376 kepala keluarga yang bermukim di lokasi Kampung Tua di Batam.
"Lokasi Kampung Tua itu ditetapkan berdasarkan rekomendasi dan kajian mendalam berdasarkan laporan dari tim dilapangan yang bekerja sejak beberapa tahun belakangan. Sejauh ini, tidak ada penambahan lokasi atau pengurangan titik lokasi Kampung Tua di Batam," tegasnya, Rabu (30/9) di Batam.
Menurutnya, apa yang terjadi di Dapur 12 Sagulung, Batam, yakni pembabatan hutan lindung dan penimbunan hutan mangrove oleh perangkat warga setempat yang mengatasnamakan relokasi Kampung Tua tidak benar. Apalagi sejumlah warga yang memasarkan lokasi tersebut sebagai lokasi Kavling Siap Bangun (KSB) yang diperjual belikan kepada masyarakat dipastikan melanggar aturan yang berlaku. "Penetapan lokasi Kampung Tua sesuai penetapan dari tim teknis, tak bisa sembarangan. Harus melalui kajian, penelitian dan jejak sejarah dilokasi tersebut," terangnya.
Lokasi Kampung Tua di Batam, diakui Firman, sangat menguntungkan bagi pemiliknya, sebab memiliki sartifikat tanah dengan setatus hak milik, lokasi pemukiman di Kampung Tua akan bebas dari Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) yang harus dibayar setiap 30 tahun sebagai biaya penyewaan tanah untuk mendirikan bangunan di Batam, Kepri.
"Jadi bisa dipastikan, setatus kepemilikan lahan yang membuat sejumlah masyarakat yang dibantu oleh pengusaha nakal memanfaatkan status tersebut untuk mencari keuntungan dengan mengatasnamakan relokasi kampung tua dalam pemasaran lokasi hutan lindung yang dialih fungsikan kepada masyarakat yang tidak paham," ucapnya.
Kendati demikian, Firman berujar, lokasi ini memang berdekatan dengan lokasi Kampung Tua Dapur 12 Sagulung. Hal itu menjadi nilai jual kepada masyarakat yang tidak paham dan dipastikan akan menimbulkan masalah dikemudian hari.
"Jadi menurut pengalaman yang sebelumnya terjadi. Masyarakat yang membeli sebidang tanah dilokasi hutan lindung yang disulap jadi pemukiman, yang paling dirugikan apabila dikemudian hari terjadi sengketa. Itu udah bisa dipastikan," tuturnya.