Jakarta, Gatra.com – Terdakwa kasus PT Asuransi Jiwasaraya (PT ASJ) (Persero) Syahmirwan mengungkapkan adanya sejumlah kejanggalan dalam proses pemeriksaan kasus ini, dalam nota pembelaan atau pledoinya.
“Jika kita cermati keseluruhan proses pemeriksaan perkara ini sejak awal dari mulai penyelidikan dan penyidikan di Kejaksaan Agung RI hingga pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini, kita tidak bisa ingkari bahwa banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan terutama terkait tekhnis pengungkapan fakta yang tampak sengaja ditutup-tutupi atau sengaja tidak diungkapkan untuk mencapai target tertentu,” kata mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT AJS yang dibacakan dalam persidangan, Selasa (29/9).
Syahmirwan menyoroti sejumlah kejanggalan salah satunya adalah tidak diperiksanya pemegang saham Asuransi Jiwasraya atau Kementerian BUMN yang dalam perkara ini bertindak sebagai pelapor. Menurutnya, pada tahap penyelidikan dan penyidikan di Kejaksaan Agung, pemegang saham itu sama sekali tak dimintai keterangan. Padahal, keterangan pemegang saham tunggal di Asuransi Jiwasraya itu sangat penting untuk mengetahui peristiwa material yang sebenarnya dalam perkara ini.
“Tidak ada satupun dari pihak pemegang saham (Kementerian BUMN) yang diperiksa dan dimintakan keterangan dalam perkara ini dan hal ini menimbulkan dugaan bahwa ada kesengajaan untuk mengabaikan dan menyembunyikan fakta tentang kebijakan pemerintah (pemegang saham) terkait kondisi insolvent PT AJS (Persero),” kata Syahmirwan.
Salah satunya, lanjut Syahmirwan, terkait adanya arahan Kementerian BUMN selaku pemegang saham kepada direksi AJS periode 2008-2018. Saat itu pemegang saham meminta agar AJS harus tetap berjalan (going concern) kendati tengah dibelit problem insolvent neraca keuangan perseroan tercatat minus Rp6,7 triliun. Kondisi insolvent itu tampak pada awal 2008 atau ketika Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo ditunjuk sebagai direksi baru.
Kementerian BUMN, sebut Syahmirwan, juga harusnya dimintai keterangan terkait Laporan Keuangan serta Laporan Tahunan PT AJS pada 2018 dan 2017, serta terkait jumlah deviden yang sudah diterima pemerintah selaku pemegang saham.
Nota pembelaan Syahmirwan juga menyebutkan kejanggalan lain yakni tidak dihadirkannya dua direksi AJS lain, De Yong Adrian selaku Direktur Pemasaran dan Indra Cataria Situmeang selaku Direktur Tekhnik. Padahal, dua eks direksi AJS untuk periode 2008 – 2018 itu telah diperiksa penyidik Kejaksaan Agung.
Dia menyebutkan itu tertuang dalam Berita Acara Pemeriskaan (BAP) sebagaimana terdapat dalam Berkas perkara.
“Namun Penuntut Umum tidak menghadirkan mereka sebagai saksi untuk diperiksa dalam perkara ini di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut hemat kami ini sungguh aneh “bin ajaib” karena keberadaan mereka sebagai saksi di persidangan ini penting dan sangat diperlukan guna mengetahui apakah Keputusan Direksi PT AJS (Pesero) sudah diambil secara collective collegial sesuai Anggaran Dasar PT AJS (Persero), apakah rapat Komite Investasi benar-benar ada atau hanya formalitas, apakah benar mereka tidak mengetahui keberadaan Joko Hartono Tirto, Heru Hidayat, dan Benny Tjokro Saputro terkait investasi PT AJS (Pesero ) sebagaimana didakwakan Penuntut Umum,” katanya.
Dengan ketidakhadiran dua eks direksi itu, Syahmirwan menyebut hal-hal yang menjadi pertanyaan tersebut akan tetap menjadi sesuatu yang tidak jelas (obscuur) secara material dalam perkara ini.
“Hal ini menimbulkan dugaan tentang adanya kepentingan Penuntut Umum untuk menyembunyikan fakta berkaitan dakwaannya, patut diduga bahwa dengan tidak menghadirkan kedua Direktur tersebut maka ada fakta materill yang justru melemahkan dakwaan Penuntut Umum dapat disembunyikan sehingga dengan demikian kepentingan dan target Pihak Kejaksaan bisa tercapai, kami berharap agar atas nama apapun kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan jika ingin menemukan keadilan dan kebenaran yang hakiki,” katanya.