Jakarta, Gatra.com - Ngariung Bicara Sawit (Ngebas) Sesi V yang ditaja oleh Majalah Sawit Indonesia Kamis pekan lalu itu menjadi riungan paling menarik.
Sebab di sana, nasib para petani sawit yang berada dalam klaim kawasan hutan, diulik detil dan di sesi itu pula mencuat cerita kalau Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTDKH), bukan dibikin untuk penyelesaian sawit dalam klaim kawasan hutan.
Adalah Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan, Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian, Prabianto Mukti Wibowo, selama hampir 8 menit, disesi yang dipandu oleh mantan Rektor Instiper Yogyakarta, DR Purwadi itu, Prabianto bilang begini;
Persoalan sawit ini sangat luar biasa. Mana sawit rakyat dan mana korporasi belum ada kesepakatan.
Makanya Perpres 88 PPTDKH itu tidak menyasar sawit lantaran sejak awal Perpres itu didisain, sawit akan diselesaikan pakai regulasi lain.
Yang disasar oleh Perpres itu hanya lahan garapan dan kebun campuran. Tapi dalam pembahasan rekomendasi gubernur hasil tim inver, saya selalu menghadapi hal yang dilematis lantaran banyak usulan itu justru terkait lahan bertutupan sawit.
Terkait hasil kerja tim untuk Perpres 88 itu, Rabu sore (23/9), rakor tim percepatan PPTKH yang dipimpin langsung oleh Menko Ekonomi telah menetapkan bahwa ada sekitar 377 ribu hektar lahan rakyat yang berada pada klaim kawasan hutan yang akan diselesaikan.
Lantas untuk sawit, kita pakai Inpres 8 2018 tentang Penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktifitas perkebunan kelapa sawit.
Hanya saja persoalannya, tidak ada data base yang kuat yang dimiliki pemerintah terkait berapa luas lahan sawit sebenarnya.
Itulah makanya kita selesaikan dulu pekerjaan perhitungan itu. Hasilnya sudah dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian bahwa ada sekitar 16,37 jt hektar tutupan kelapa sawit di Indonesia.
Baca juga: Antara 'Pil KB' Apkasindo dan 'Sodokan' Sudarsono
Setelah data itu ada, peta tutupan sawit itu kita overlay dengan peta kawasan hutan. Hasilnya, ada sekitar 3,2 juta hektar tutupan sawit dalam kawasan hutan.
Evaluasi kemudian kami lakukan. Mana-mana yang bisa diselesaikan dengan regulasi yang ada sekarang, segera diselesaikan.
Nah, regulasi yang berkaitan dengan kawasan hutan untuk pembangunan sektor non kehutanan melalui mekanisme tukar menukar atau pelepasan ada di Peraturan Pemerintah 104 tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Tapi lantaran sawit ini ada sebelum PP 104 2015 tadi lahir, maka ini yang disebut keterlanjuran. Ada sawit yang terlanjur berada pada kawasan hutan berdasarkan SK penunjukan kawasan hutan.
Yang ini tentu dianalisa lagi berdasarkan histori dan yuridisnya. Sampai minggu lalu, kami masih menyusun sistem tentang sawit yang sudah terlanjut berada dalam kawasan hutan ini. Penyusunan ini masih belum selesai lantaran rumitnya persoalan ini.
Dari analisa, ada sekian ratus hektar HGU di dalam kawasan hutan. Analisa ini bukan untuk saling menyalahkan. Fakta yang akan membuktikan. salah satu pembuktian itu dari kajian historisnya. Apakah ini terjadi lantaran ada perubahan tata ruang atau lantaran Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang sudah ada duluan.
Intinya pemerintah terus berupaya menyelesaikan carut marut pertanahan ini. Tapi lagi-lagi saya bilang, lantaran lama tak terselesaiakan dengan baik, jadinya butuh waktu lagi, butuh banyak kajian untuk win-win solution, jangan ada yang dirugikan.
Pemerintah terus mendorong tanaman unggulan ini, tapi pemerintah juga ingin menyelesaikan yang selama ini dituduhkan pihak luar. Misalnya soal sustainibilitas, deforestasi dan lainnya.
Suka tidak suka, dalam percaturan perdagangan internasional kita harus meyakinkan luar, kita jawab mereka. Tugas kitalah menyelesaikan ini dalam bentuk regulasi yang sedang kita susun.
Teramat penting sebenarnya omongan panjang lebar Prabianto ini. Sebab sudah teramat panjang penderitaan para petani kelapa sawit oleh sengkarut kawasan hutan tadi.
Belum lagi puluhan ribu petani kelapa sawit harus menahan tangis lantaran sawitnya dirusak atau diracun oleh perusahaan yang mengklaim kalau lahan petani itu adalah konsesinya.
Padahal jelas-jelas, pemerintah dengan tegas sudah membikin aturan bahwa setiap izin konsesi musti ditatabatas untuk memisahkan antara hak rakyat dan hak negara yang dipinjamkan kepada perusahaan.
Lalu di sisi lain, pemerintah juga sedang menggalakkan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Malah hingga 2023, SR yang ditargetkan mencapai 500 ribu hektar.
Sementara kata Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, sebenarnya petani sangat mendukung PSR, tapi 80% yang mengajukan PSR itu ditolak Dinas Perkebunan setempat.
Alasannya, lahan petani yang mengajukan PSR itu ada pada klaim kawasan hutan.
"Di salah satu kabupaten di Riau, ada sekitar 8 ribu hektar yang mengajukan PSR, tapi setelah dicek, 6.500 hektar malah masuk dalam klaim kawasan hutan," katanya kepada Gatra.com.
Hendri Alfian, tetua adat di Indragiri Hulu justru makin bingung menengok kenyataan yang ada. "Sudah beranak pinak turun temurun kami di desa ini, masih juga dibilang kawasan hutan. Sudah berkirim surat kami kemana-mana terkait klaim ini, tapi sampai sekarang tak ada kejelasan apapun. Macam mencari ketiak ular kami," katanya kepada Gatra.com, Selasa (29/9).
Yang paling miris lagi kata ayah satu anak ini, rekannya yang pohon kelapa sawitnya sudah mau replanting, justru terdampak klaim kawasan hutan itu.
"Kebetulan pula dekat kebun itu ada konsesi perusahaan. Lantaran kebun tadi disebut kawasan hutan, dihajar perusahaan itu pula kebun itu, dibilang konsesinya," rutuk petani sawit anggota Apkasindo ini.
Direktur Tanaman dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto mengatakan, saat ini Kementerian Pertanian sedang menunggu penyelesaian dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kami juga ingin memastikan bahwa aturan hukum tetap diikuti. Kami tetap berhati-hati. Teman-teman dinas daerah, ketika mendapatkan usulan, meminta konfirmasi ke dinas kehutanan setempat. Usulan yang masuk kawasan, dikeluarkan dulu, kita proses yang clean dan clear dulu. Standing position kami seperti itu," katanya.
Menurutnya, untuk persyaratan legalitas lahan membutuhkan koordinasi dengan lintas lembaga dan kementerian. Ini dilakukan lantaran ada kebun yang diklaim kawasan hutan setelah sekian puluh tahun lokasi itu menjadi kebun.
Sama seperti kata Prabianto tadi, objek PPTDKH seluas 377.310,5 hektar yang akan diselesaikan dulu. Luasan itu tersebar di 54 Kabupaten/Kota di 15 Provinsi.
Sayang, soal sengkarut klaim kawasan hutan ini belum berjawab langsung dari KLHK. Hingga Selasa (29/09), pertanyaan tertulis Gatra.com belum berbalasan.