Untuk memastikan distribusi vaksin Covid-19 adil bagi semua negara, WHO menyusun inisiatif global COVAX. Alih-alih berpartisipasi, sejumlah negara kaya malah bersaing dalam mendapatkan vaksin.
Pandemi ini tidak akan berakhir sebelum semua orang aman dari penularan virus SARS-CoV-2. Vaksin disebut-sebut sebagai game changer untuk memastikan semua orang terlindungi. Untuk memastikan distribusi vaksin yang adil, World Health Organization (WHO) meluncurkan inisiatif yang disebut COVAX (COVID-19 Vaccine Global Access). Inisiatif ini bertujuan memastikan distribusi yang lebih adil dari setiap vaksin Covid-19 di masa depan.
Hingga pekan lalu, sudah 156 negara yang bergabung dalam skema global ini, termasuk Indonesia. Adapun negara-negara besar seperti Cina, Rusia, dan Amerika Serikat (AS) namanya tidak ada dalam daftar. Ada beberapa negara yang menunda. Menurut WHO, penundaan itu lebih disebabkan masalah prosedural dibandingkan keraguan terhadap mekanisme ini. Ditambahkan oleh WHO, sekitar 64 negara kaya dilaporkan telah mendaftar dan diperkirakan ada lebih banyak lagi yang menyusul meskipun sudah melewati tenggat waktu resmi.
"Apa yang kami umumkan adalah permulaan. Ini akan terus berlanjut. Kita semua harus bersama-sama untuk menyelesaikan pandemi ini," ujar Juru bicara WHO Margaret Harris, Selasa pekan lalu.
"Di antara mereka yang telah mendaftar, yaitu Komisi Eropa atas nama 27 negara anggota Uni Eropa (UE), ditambah Norwegia dan Islandia," Harris menambahkan.
Dari markasnya di Jenewa, Swiss, WHO, menyiapkan pengiriman sekitar dua miliar dosis vaksin secara global pada akhir tahun depan. WHO telah berkoordinasi dengan grup aliansi vaksin global Gavi dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations/CEPI).
Saat ini, empat dari sembilan vaksin yang sudah mencapai uji klinis tahap 3, dikembangkan perusahaan Cina. Ahli Epidemiologi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, Zeng Guang, menduga absennya Negeri Tirai Bambu dalam daftar awal, sebagai bentuk kehati-hatian.
Sebelumnya, Beijing telah berjanji memprioritaskan beberapa mitra dan negara tetangga lain dalam platform Belt and Road Initiative, Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, dan Organisasi Kerja Sama Shanghai. Menurut Zeng, Cina mungkin ingin membuat rencana menyeluruh untuk memastikan bahwa mereka dapat menjamin pasokan di semua platform ini sebelum bergabung dengan COVAX, belum lagi untuk penduduknya. "Ini hanya masalah waktu saja," katanya kepada Global Times.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, mengatakan bahwa rencana negaranya untuk berkontribusi pada aksesibilitas dan keterjangkauan vaksin di negara-negara berkembang, pada dasarnya sama dengan COVAX.
Cina sudah lama menawarkan bantuan dan akses mendapatkan vaksin kepada bebeberapa negara miskin dunia. Dengan caranya sendiri, dapat memberi Beijing platform yang lebih baik untuk menggunakan vaksin potensial sebagai alat diplomatik. "Cina menggunakan pendekatan bilateral, di mana mereka mungkin mencari konsesi atau goodwill (niat baik)," kata Drew Thompson, peneliti di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura, kepada South China Morning Post, pekan lalu.
Thompson mencontohkan Filipina. Negara itu bersitegang soal Laut China Selatan dengan Beijing. Namun Cina telah menjanjikan akses prioritas bagi Filipina ke vaksin Cina. "Jika Cina mendukung COVAX, dan COVAX mendukung Filipina, manfaat apa yang akan diperoleh Cina dari itu?" katanya.
"Cina berkepentingan agar negara-negara di Asia Tenggara memiliki kesehatan yang lebih baik, sehingga dapat melibatkan mereka secara lebih konsisten, [melalui] perdagangan, pariwisata," Thompson menambahkan. Di sisi lain, Kepala Ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, mengatakan bahwa percakapan dengan Cina sedang berlangsung dan masih terbuka.
***
Tidak dapat dimungkiri, keberhasilan COVAX bergantung pada dukungan dari negara-negara kaya dan komitmen produsen vaksin untuk memenuhi target memasok dua miliar dosis yang selanjutnya dibagi secara proporsional ke negara-negara peserta pada akhir 2021.
Pada tahap pertama, diharapkan 20% populasi bisa mendapat vaksin. Yang diprioritaskan mendapat vaksinasi, yaitu tenaga kesehatan, orang tua, dan orang-orang yang memiliki kondisi kesehatan serius. Tentu saja setiap negara akan membuat keputusan alokasi mereka sendiri.
Saat ini, 65 negara berpenghasilan tinggi sudah bergabung dengan 92 negara yang memenuhi syarat untuk mendapat akses bersubsidi. Total mewakili 64% dari populasi global. Sebanyak 35 negara berpenghasilan lebih tinggi sudah menyatakan niatnya untuk bergabung.
Selain Cina, AS dan Rusia belum ada di daftar itu. AS secara independen telah membeli vaksin. Negara ini dengan tegas mengatakan tidak akan berpartisipasi dalam COVAX, dengan alasan pengaruh "WHO korup dan Cina". Mereka yakin, satu dari enam kandidat vaksin yang dibiayainya akan berhasil menjadi vaksin. Selanjutnya, vaksin itu diprioritaskan untuk bangsanya dahulu. Jika ada sisa, akan dibagikan ke negara lain.
Adapun Rusia sama seperti Cina. Keduanya tidak antipati kepada WHO, tetapi ingin memiliki kontrol lebih besar terhadap vaksin buatannya. Cina, misalnya, ingin memberikan akse prioritas kepada negara sahabat. Rusia juga ingin membantu negara lain dengan vaksin Sputnik buatannya, tetapi sesuai dengan pertimbangannya.
Dengan konstelasi seperti ini, diduga COVAX akan bersaing dengan AS dan beberapa negara lainnya untuk memperoleh vaksin. Layaknya Inggris, Jepang, dan Uni Eropa yang menyatakan bergabung dengan COVAX, tetapi telah membeli puluhan juta dosis vaksin untuk rakyatnya.
WHO masih berharap Cina dan negara-negara lain yang sedang mengembangkan vaksin, pada akhirnya akan bergabung. Atau setidaknya perusahaan di negaranya setuju untuk memasok dosis yang akan dibeli di bawah skema COVAX.
Rosyid