Jakarta, Gatra.com - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak layak mengangkat Brigjen Dadang Hendrayudha menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Brigjen Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemhan.
Selain itu, kata Nelson dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang berasal dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (27/9), pengangkatan Chairawan Kadasryah Nusyirwan beberapa waktu lalu sebagai Asisten Khusus Menhan oleh Prabowo juga juga tidak patut dilakukan.
Penangkatan Brigjen Dadang Hendrayudha dan Brigjen Yulius Selvanus berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 166/TPA Tahun 2020. Sedangkan Chairawan Kadasryah Nusyirwan yang merupakan mantan Komandan Tim Mawar, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/1869/M/XII/2019.
"Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai bahwa nama-nama tersebut di atas, termasuk Prabowo sangat tidak layak menjadi pejabat publik," ujarnya.
Koalisi berpendapat demikian karena rekam jejak mereka pernah tergabung dalam Tim Mawar yang khusus dibentuk untuk operasi penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi tahun 1997-1998.
"Melalui tim Kopassus ini, sebanyak 22 aktivis diculik: 9 orang kembali dalam keadaan hidup dengan berbagai praktik penyiksaan yang dialami," ungkapnya.
Sementara itu, sebanyak 13 orang aktivis lainnya, yakni Yani Afrie, Sony, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Petrus Bima Anugerah, Widji Thukul, Ucok Munandar Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Naser belum kembali hingga saat ini.
Menurutnya, Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta memang pernah digelar dengan hasil menjatuhkan putusan masing-masing 1 tahun 4 bulan dan 20 bulan penjara masing-masing untuk Brigjen Dadang Hendrayudha dan Brigjen Yulius Selvanus pada April 1999 selaku Kepala Unit I dan Kepala Unit II Tim Mawar.
"Namun, vonis tersebut sangatlah tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan. Persidangan juga gagal untuk mengungkap seluruh aktor yang terlibat," ujarnya.
Selain itu, publik juga tidak tahu-menahu kelanjutan perkara tersebut karena putusannya tidak dipublikasikan secara terbuka hingga ternyata karier militer keduanya masih berjalan hingga menjadi jenderal.
Menurut KMS untuk Reformasi Sektor Keamanan, Presiden Jokowi harus membatalkan keputusan-keputusan tersebut jika memang ia berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Presiden tidak boleh memberikan tempat bagi siapapun yang mempunyai rekam jejak di masa lalu sebagai pelanggar HAM berat untuk menempati jabatan publik," ujarnya.
Menurut Koalisi, keputusan mengangkat mantan Tim Mawar justru semakin menegaskan bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, malah menambah dan memperpanjang penderitaan keluarga korban.
Padahal, lanjut Nelson, pada tahun 2014 ketika masih berkampanye sebagai calon presiden, pada penjabaran visi keempat Nawacita, Jokowi telah berjanji untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat, termasuk berjanji untuk menemukan Widji Thukul apabila terpilih menjadi presiden.
Kemudian, tahun 2019 juga dia menyampaikan janji serupa pada misi keenam dan program aksi keempat. Namun hingga kini, hal itu hanya sebatas janji politik saja tanpa ada realisasi. Selain itu, juga penting untuk melihat penggantian warga sipil menjadi tentara sebagai pejabat di Kemenhan.
"Padahal sejak reformasi beberapa pos di Kementerian Pertahanan lazim diisi oleh pejabat sipil. Penggantian ini semakin menguatkan tren militerisasi di masyarakat setelah sebelumnya Kemhan menggulirkan rencana membentuk komponen cadangan yang sangat bermasalah," katanya.
Atas dasar hal tersebut, Koalisi Reformasi Sektor Keamanan menyatakan sikap, menuntut presiden mengevaluasi menteri pertahanan yang membuat beberapa kebijakan yang kontraproduktif dalam pemajuan HAM dan proses reformasi sektor keamanan serta dugaan keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang.
"Menuntut Presiden untuk mencopot seluruh pihak, yang tergabung dalam Tim Mawar yang terbukti terlibat dalam tindakan penghilangan paksa 1997-1998, dari jabatan publik," ujarnya.
Selanjutnya, menuntut Presiden menuntaskan seluruh kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu demi memberikan keadilan bagi keluarga korban dan sebagai bentuk komitmen negara agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
"Mendesak Presiden dan DPR untuk mereformasi peradilan militer dengan cara mengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," ujarnya.
Mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk memublikasikan seluruh putusan terkait penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Terakhir, menolak militerisasi pejabat teras di Kemenhan.
Adapun KMS untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari LBH Jakarta, Public Virtue Institute, Imparsial, SETARA Institute, Pil-Net, ELSAM, PBHI, Amnesty Internasional, LBH Pers, dan ICW.
Terkait pernyataan ini, Gatra.com telah mengirimkan pesan kepada Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rahman untuk meminta tanggapan. Namun, hingga berita ini ditayangkan, yang bersangkutan belum merespons.