Home Gaya Hidup Seruan Membangun Indonesia Inklusif dari Yogyakarta

Seruan Membangun Indonesia Inklusif dari Yogyakarta

Bantul, Gatra.com - Perjuangan menuju Indonesia yang inklusif tanpa diskriminasi ke kelompok apapun masih panjang. Komitmen dan kerjasama serta berbagai macam strategi, termasuk budaya diperlukan untuk menyebarkan gagasan inklusi.

Hal itu disampaikan William E. Aipipidely, Direktur Eksekutif Yayasan Satunama, lembaga yang peduli pada praktik inklusif, saat menutup Festival Inklusif 100 % yang dihelat secara daring dari Desa Panggungarjo, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (26/9) malam.

"Pesan diskursus itu tidak hanya di ruang parlemen, tapi festival kebudayaan ini juga merupakan salah satu upaya membangun inklusi," katanya.

Rangkaian festival sejak 21 September berupa sejumlah seminar daring itu dipungkasi dengan pertunjukan budaya. Antara lain pertunjukan dari komunitas budaya Omah Cangkem, masyarakat penghayat kepercayaan, anak-anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), Generasi Pintar (Genpi), dan kelompok waria serta GNTZ. Mereka tampil bergantian memberikan pesan-pesan inklusif melalui seni dan budaya.

"Sejatinya acara penutup ini merupakan langkah awal dari sebuah perjalanan panjang inklusi Indonesia," kata dia.

Menurutnya, praktik-praktik diskriminasi dan marginalisasi masih terjadi hingga sekarang, seperti dialami masyarakat penghayat kepercayaan dan waria. "Inilah contoh problem inklusi di Indonesia yang berkelindan dengan permasalahan lainnya," imbuhnya.

Namun ia yakin pesan-pesan inklusi bisa disebarkan ke seluruh negeri dari Yogyakarta. “Kami percaya inklusi 100 persen ini harus terus digaungkan. Karena ini adalah titik awal untuk menuju Indonesia yang inklusif," ujarnya.

Lurah Desa Panggungharjo Wahyudi Hadi Anggoro menyatakan Festival Inklusi 100 % merupakan upaya untuk membuka jalan baru untuk mencari pola-pola perjuangan dalam mewujudkan Indonesia yang inklusif.

“Festival ini adalah ruang ruang yang dibangun untuk mendesakkan agar yang terpinggirkan ditengahkan, agar yang terdiamkan di-bicara-kan, agar yang terbelakangkan di-depan-kan, agar terbangun konstruksi baru, kesadaran baru,” seru Wahyudi dalam orasi budaya.

Menurut dia, desa, keluarga, petani gurem, buruh dan kuli bangunan, perempuan, anak haram, lansia, waria, difabel, penghayat kepercayaan adalah orang pinggiran.

“Di sini, hari ini kami, orang pinggiran, telah berbicara atas nama semesta atas nama kemanusiaan. Di sini di hari ini, kami runcingkan bambu dan pemikiran untuk meretas jalan perjuangan untuk sebuah tatanan baru yang patut, layak dan bermartabat bagi manusia dan alam,” kata dia.

230