Home Politik APHA: Kegetiran Orang Rimba jadi Korban Hukum Rimba

APHA: Kegetiran Orang Rimba jadi Korban Hukum Rimba

Jakarta, Gatra.com - Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Perhimpunan Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr. ST Laksanto Utomo, S.H., LLM, mengatakan, orang Rimba di Jambi menjadi korban praktik "hukum rimba". Sastrawan Rusia, Alexander Solchenizyn, mengisahkan kegetiran hidup mereka dalam romannya.

"Orang Rimba telah menjadi korban praktik hukum rimba. Eksploitasi besar-besaran atas program transmigrasi dan mencaplok sebagian besar ruang hidup orang Rimba," kata Laksanto dalam webinar bertajuk "Kondisi Terkini Masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayatnya" pada Sabtu (26/9).

Laksanto dalam acara gelaran Pushamka Fakultas Hukum (FH) Andalas (Unand) dan Universitas Sumatera Utara (USU) ini, melanjutkan, orang Rimba adalah masyarakat adat di segitiga Kabupaten Sarolangun, Tebo, dan Batanghari sangat menjunjung hukum mereka yang mungkin bisa disebut "hukum Rimba".

Mereka menjunjung hukum mereka demi menjaga alam yang merupakan tempat tinggal dan sumber kehidupannya. Namun, atas nama investasi pihak terkait, memaksa mereka menjadi korban praktik "hukum rimba".

"Orang Rimba pun mempraktikan 'hukum Rimba'. Orang-orang investor ataupun mereka yang mengubah kondisi alamnya," ujar dia.

Menurut Laksanto, ini sangat ironis. Praktik "hukum rimba" oleh penguasa memaksa orang Rimba terlunta-lunta karena hutan tempat mereka tinggal telah beralih fungsi menjadi perkebunan dan sebagainya.

"Orang Rimba terlunta-lunta mengembara hingga meluber ke tepian jalan raya. Mereka tidak punya tempat, terlantar karena tanahnya sudah tidak ada," ungkapnya.

Sastrawan Alexander Solchenizyn mengisahkan getirnya kehidupan orang Rimba tersebut. Mereka tidak kuasa melawan peminggirannya. Terlebih, mereka sangat patuh terpadap hukum yang mereka anut.

"Orang Rimba justru dengan caranya mereka mematuhi hukumnya sendiri disebut 'pucuk undang nan selapan," ujarnya.

Aturan tersebut, lanjut Laksanto, memuat pasal tentang pahamu yang bermakna pantang menantang, larangan keras bunuh membunuh, dan sebagainya.

"Hukum mereka menjadikan Orang Rimba cenderung bersikap defensi terhadap yang mereka lihat. Jadi orang Rimba pun mempraktikan 'hukum rimba', orang-orang, investor ataupun mereka yang mengubah kondisi alamnya," kata dia.

Dosen dari FH Universitas Sahid Jakarta ini, lebih jauh mengungkapkan bahwa bukan hanya Orang Rimba yang terusir dari tanahnya. Masyarakat adat Purbabu, Nusa Tenggara Timur (NTT) pun mengalami hal yang sama.

Hutan adat Purbabu-Besipae di wilayah Mio Oe-ekam Enoneten dan Pollo, Kecamatan Amanuba Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) diklaim sebagai aset milik Pemerintah Provinsi NTT.

"Sebetulnya konflik hutan lahan itu sejak 1982, kemudian tahun 1987, selama 25 tahun sudah dikuasi. Mereka pada saat itu minta tanahnya dikembalikan tapi pada 2012 masyarakat menentang untuk perpanjangan izin atas tanah tersebut," ujarnya.

Pria yang akrab disapa Laks ini, mengungkapkan, masyarakat adat tersebut berpendapat bahwa hutan adat harus dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawan konservasi.

Sementara itu, Guru Besar FH USU, Prof. Dr. Muhamad Yamin, mengatakan, pemberontakan yang dilakukan di sejumlah negara karena pemerintah tidak menghormati tanah nenek moyang suatu suku atau masyarakat adat.

"Intinya sebenarnya tidak menghormati masyarakat adatnya, misalnya di Australia, orang-orang Aborigin memberontak karena mother land-nya diganggu. Aturan menafikkan masyarakat adatnya sehingga mereka dikeluarkan dari tanah nenek moyangnya," ujar dia. 

Di Jepang pun demikian. Pemberontakan terjadi karena tidak adanya pengakuan negara terhadap tanah adat. "Mereka memberontak mempertahankan tanahnya. Kemudian, begitu juga di Philipina, orang-orang Moro, oleh negara tanah-tanah tidak diakui oleh negara, oleh negara itu suruh kosongkan dan dikasih ke investor," ujarnya.

Menurutnya, untuk membuktikan bahwa masyarakat adat sebagai pemilik tanah ulayat itu sangat sulit. Hal ini seperti yang terjadi dalam perkara Malibu Indah di Medan. Dalam sidang perkara tersebut, 2 pakar hukum Agraria memberikan pandangan dan prospektif berbeda.

Satu ahli memberikan pendapat bahwa memberikan pendapat yang mendasarkan pada hukum adat. Menurutnya, kalau masyarakat diminta bukti dokumen sebagai pemilik tanah itu sangat sulit.

"Itu tidak mungkin, sama saja meminta tanduk pada kucing, karena tanah adat itu tidak punya bukti yang diharapkan oleh UU, ada sertifikat," ujarnya.

Sedangkan pakar kedua, mendasarkan pada bukti nyata atau dokumen kepemilikan sebagaimana diatur hukum positif. Pendapat tersebut akhirnya membelah hukum agraria.

Menurut Yamin, hukum adat dan masyarakat adat harus dipertahanan di bumi pertiwi ini. Sedangkan soal hak atas tanah adat, itu jangan atas nama individu, namun atas nama komunal atau komunitas.

"Jangan lupa bahwa di tanah itu ada masyarakat adat, padahal prinsip kepemilikan sudah lahir. Siapa yang datang pertama harus dihormati yang memuliki hukum pertama di situ. Itu harus dihormati," katanya.

336