Sungai Lilin, Gatra.com - Kalau saja Ketua Harian Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Selatan (Sumsel) ini tidak menengok dan mendengar langsung, bisa jadi apa yang diceritakan dan dilakukan oleh Bambang Gianto dan kawan-kawan, bakal dianggap hoaks oleh banyak orang. Maklum, belakangan terlalu banyak omongan hoaks berseliweran di Negeri ini.
Bambang yang ketua KUD Mukti Jaya Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel itu menyebut; budget Rp25 juta per hektar, cukup hingga awal P3! Tentu banyak orang tak percaya dengan omongan itu. Sebab di banyak daerah penerima duit PSR, duit hibah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang Rp25 juta itu, rata-rata cuma cukup untuk P0.
“Kalau enggak mendengar dan menengok langsung, saya enggak percaya,” kata M Yunus. Mantan manager di salah satu perusahaan besar di Sumsel ini kebetulan ikut ngobrol bersama Gatra.com di kantor KUD Mukti Jaya di kawasan jalan lintas Sungai Lilin-Jambi.
Kantor bertingkat dua seluas 120 meter persegitu itu nampak mentereng, dibangun pada 2007-2008.
“Tumbang chipping kami kerjasamakan dengan perusahaan berpengalaman, perusahaan yang sudah mengerjakan lahan replanting milik perusahaan besar. Kami minta dibikin RAB yang jelas,” cerita Bambang.
Untuk bibit, koperasi bekerjasama dengan PPKS Medan, Sumatera Utara (Sumut). Kebetulan PPKS punya penangkaran di Dawas dan Sungai Lilin. “Tadinya kami mau bikin pembibitan sendiri, tapi lantaran waktunya mepet, enggak jadi,” katanya.
Lalu urusan pupuk, KUD bekerjasama dengan berbagai penyuplai pupuk dan sarana produksi pertanian (saprodi). “Teman-teman yang dulu sudah bekerjasama dengan kami, kami ajak kembali. Kebetulan kami dulu pengecer pupuk juga,” ujar Bambang.
Semua tenaga kerja yang dipakai di lahan replanting itu kata Bambang, warga desa itu sendiri. Siapapun boleh bekerja, tapi hasil kerja harus standar, harus sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB). Pemilik kaplingan diprioritaskan. Seleksi alam terjadi, siapa yang tahan kerja, itulah yang tersisa dan jumlah pekerja yang tersisa itu, cukup.
Baca juga: PSR Muba, Bisa Panen Tanpa Duit Hutang
“Hanya 10-20 persen warga desa yang bekerja tetap. Statusnya Buruh Harian Lepas (BHL). Luasan 300 hektar diurus oleh 30-40 orang. Mulai dari perawatan hingga panen, mereka yang bertanggungjawab," urai Bambang.
Semua pekerja kata Bambang digaji, termasuk manager, askep, asisten, mandor dan pengawas. “Sumber gaji kami ya dari duit PSR yang Rp25 juta per hektar itulah. Uang itu cukup kok sampai pertengahan P3. Hitungan sederhananya, untuk di P1, biaya perhektarnya, Rp5,3 juta per tahun. Lalu di P2 naik 20 persen. Alhamdulillah, biaya yang habis di bawah angka yang ada di RAB, tapi hasil kerja, di atas target yang ada di RAB itu, ” kata Bambang, bangga.
Lantaran duit yang habis untuk proses replanting itu minim, nyaris semua koperasi tadi belum memakai duit yang sudah disiapkan oleh bank. Sebelumnya, Mukti Jaya sendiri sudah teken kontrak pinjaman di Bank BNI Rp54 miliar. Tapi sampai sekarang duit itu belum juga diambil.
“Sudah bolak balik bank bertanya kapan kami akan memakai duit itu. Gimana mau memakai, duit yang ada saja belum habis. Duit belum habis, kebun sudah menghasilkan. Kalau pun nanti kami butuh tambahan duit, paling pakai duit anggota. Kebetulan duit mereka ada sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta di rekening koperasi,” ujar Bambang.
Kalaupun ada yang sudah memakai pinjaman bank, itu lantaran koperasinya sudah sekalian mengurusi infrastruktur kebun. “Yang kami pakai juga hanya Rp2,1 miliar dari total Rp18,1 miliar plafon pinjaman,” cerita Iskarmono, Ketua Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Suka Makmur, Desa Suka Damai Baru.
Abdul Aziz