Jakarta, Gatra.com - Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) mencecar tersangka Djoko Soegarto Tjandra atau Joko Soegiarto Tjandra (Djoker) soal gratifikasi sejumlah US$500.000 kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Hari Setiyono, di Jakarta, Kamis (24/9), mengatakan, penyidik memeriksa yang bersangkutan sebagai tersangka dan juga saksi untuk tersangka Andi Irfan Jaya.
"Pemeriksaan Djoko Soegiarto Tjandra sebagai tersangka dan sebagai saksi dilakukan untuk mencari fakta hukum tentang memberikan pemberian atau janji yang diberikan kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari," ujarnya.
Hari menjelaskan, gratifikasi tersebut akan diberikan Djoker sebagai imbalan mengurus permohonan fatwa ke Mahkamah Agung (MA) agar status terpidana Djoko Soegiarto Tjandra dalam Perkara Cessie Bank Bali tidak dieksekusi oleh jaksa.
Penyidik juga menanyakan soal teknis dan cara serta maksud dan tujuan pemberian uang sebanyak US$500.000 itu kepada oknum jaksa Pinangki yang saat ini sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
"Pemeriksaan tersangka dan saksi dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan tentang pencegahan penularan Covid-19," katanya.
Dalam perkara ini, Djoker bersedia memberikan imbalan uang sebesar US$1 juta untuk Pinangki guna mengurus fatwa MA melalui Kejagung. Uang tersebut akan diserahkan melalui pihak swasta, yaitu Andi Irfan Jaya selaku rekan dari Pinangki Sirna Malasari.
"Hal itu sesuai dengan proposal 'action plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM [Pinangki Sirna Malasari] dan diserahkan oleh saudara Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," katanya.
Selain itu, lanjut Hari, Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Dkoker juga bersepakat untuk memberikan uang sejumlah US$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan MA guna keperluan mengurus permohonan Fatwa MA tersebut.
Selanjutnya, Djoko Soegiarto Tjandra memerintahkan adik iparnya, yaitu Heriyadi Angga Kusuma (almarhum) untuk memberikan uang kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya di Jakarta sebesar US$500.000 sebagai pembayaran down payment (DP) 50% dari US$1 juta yang dijanjikan.
Kemudian, Andi Irfan Jaya memberikan uang sebesar US$500.000 tersebut kepada Pinangki. Kemudian dari uang US$500.000 tersebut, Pinangki memberikan US$50.000 kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum.
"Sedangkan sisanya sebesar US$450.000 masih dalam penguasaan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H.," ungkap Hari.
Namun dalam perjalanannya, ternyata rencana yang tertuang dalam "acrion plan" di atas tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoker telah memberikan DP sejumlah US$500.000 kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya.
Karena tidak terlaksana, Djoker pada bulan Desember 2019 membatalkan "action plan" atau rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari action plan tersebut dengan tulisan tangan "NO".
Atas perbuatan tersebut, Kejagung menyangka Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Andi Irfan Jaya disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Ayat (1) huruf b atau Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.