Jakarta, Gatra.com - Peneliti kajian terorisme Universitas Indonesia (UI), Sapto Priyanto menilai, pelaksanaan program deradikalisasi terorisme di Indonesia bermasalah. Masalah itu terletak pada peran beberapa lembaga terkait yang ia temukan saat menyelesaikan disertasinya.
Sapto menyebut, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memprioritaskan program deradikalisasi terhadap narapidana terorisme (napiter) yang mengajukan pembebasan bersyarat di Pusat Deradikalisasi BNPT.
Hal itu justru menjadi masalah bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) yang sebenarnya tidak mau. Mereka, kata Sapto, menilai BNPT harusnya melaksanakan deradikalisasi itu kepada napiter kategori inti dan militan, bukan yang hendak bebas bersyarat.
"Makanya saya bilang masih ada parsial, karena dalam BNPT dan Ditjen PAS itu bermasalah. BNPT merasa tidak punya fasilitas," kata Sapto dalam diskusi publik daring 'Strategi Pencegahan Residivisme Teroris' yang diselenggarakan UI, Rabu (23/9).
Selain dua lembaga itu, ada Detasemen Khusus 88 (Densus 88) yang justru melakukan deradikalisasi sejak penangkapan pelaku, berlanjut ke lapas, hingga bebas bersyarat. Sapto menilai, beban Densus 88 justru terlalu berat.
"Satu sisi ini baik, tapi harusnya ini dilakukan oleh BNPT. Densus itu harusnya penegakan hukum saja tidak perlu (deradikalisasi). Densus merasa semacam kerepotan, orang yang sudah ditangkap dia lagi, dia lagi," tandas Kriminolog ini.
Sejauh ini, data yang didapatkan Sapto menunjukkan bahwa hingga Desember 2019, residivis teroris di Indonesia mencapai 52 orang. Kategori residivis di dalam penelitiannya itu valid, karena 52 orang itu sudah terbukti terlibat aksi terorisme pada kasus pertama dan keduanya, bukan melakukan kejahatan lain.