Jeda yang diumumkan AstraZeneca memicu pertanyaan soal transparansi dan keamanan vaksin Covid-19. Para ahli sulit untuk menentukan apakah efek samping yang muncul karena vaksin atau sebab lain.
Presiden Donald Trump menjanjikan, April tahun depan sudah tersedia vaksin untuk seluruh rakyat Amerika Serikat. Ia mengoreksi kepercayaan diri sebelumnya yang sesumbar vaksin akan tersedia sebelum pemilu Amerika Serikat pada November 2020. "Ratusan juta dosis akan tersedia setiap bulan dan kami harpkan sudah cukup vaksin untuk semua orang Amerikan Pada April," kata Trump saat briefing media di Gedung Putih, Jumat pekan lalu.
Meski begitu, janji Trump itu tetap saja iebih optimistis daripada kebanyakan pejabat kesehatan Amerika Serikat, yang memproyeksi kondisi itu baru tercapai pada pertengahan tahun 2021.
Sampai hari ini, lembaga pengawas obat dan makanan AS, The Food and Drug Administration (FDA), belum memberikan lampu hijau untuk vaksin corona. Termasuk untuk tiga kandidat utama yang saat ini sudah masuk tahap uji klinis III yaitu vaksin yang dikembangkan Moderna, Pfizer, dan AstraZeneca.
Belum jelas benar vaksin mana yang akan digunakan, sebab vaksin yang kini sudah masuk tahap akhir itu belum pasti aman dan manjur. Apalagi setelah mencuat kasus efek samping vaksin buatan AstraZeneca. Kasus ini menjadi perhatian para ahli.
Seperti diketahui AstraZeneca baru saja menunda proses uji klinis setelah seorang relawan uji coba mengalami efek samping serius. Yang menunjukkan gejala "aneh" di luar prediksi. Awalnya disebutkan pasien ini menunjukkan gejala neurologis yang tidak dapat dijelaskan, termasuk anggota tubuh yang melemah dan "sensasi berubah".
Ini kasus kedua sejak uji coba vaksin dimulai pada April lalu di Inggris. Para ahli memberikan perhatian lebih dan menunjukkan keprihatinan karena AstraZeneca menolak mengungkapkan rincian tentang penyakit saraf yang dialami dua peserta uji. Dua wanita malang itu mendapat vaksin eksperimental di Inggris.
Pada kasus pertama disebutkan, peserta menerima dosis pertama vaksin. Setelah itu mulai muncul radang sumsum tulang belakang. Kondisi itu menyebabkan melemahnya tungkai dan lengan, kelumpuhan, nyeri dan masalah usus dan kandung kemih. Kondisi ini dikenal sebagai myelitis tranversal. Hal itu terungkap dalam dokumen yang dibagikan kepada relawan uji coba pada Juli lalu.
Merespons temuan itu, AstraZeneca menunda sementara uji coba sambil menunggu review dari para ahli independen. Beberapa waktu kemudian jubir perusahaan menjelaskan kepada media bahwa peserta tersebut baru diketahui mengidap multiple sclerosis yang tidak terdiagnosa sebelumnya. Karena itu disimpulkan bahwa myelitis transversal yang berkembang pada relawan itu bukan disebakan suntikan vaksin. Uji coba dilanjutkan kembali.
Pada kasus kedua, AstraZeneca mengatakan belum mendiagnosis penyebabnya. Sumber The New York Times yang mengetahui situasi ini menyebutkan, kondisi yang dialami mengarah pada myelitis tranversal. Kondisi ini dialami wanita Inggris setelah menerima suntikan dosis kedua. Akibatnya, uji coba ditunda lagi pada 6 September lalu.
Dalam dokumen informasi peserta tanggal 11 September 2020, AstraZeneca menyimpulkan kedua kasus itu "tidak mungkin terkait dengan vaksin atau tidak ada cukup bukti untuk mengatakan dengan pasti bahwa penyakit itu terkait atau tidak terkait ke vaksin". Badan pengawas obat-obatan Inggris, Medicines Health Regulatory Authority (MHRA), mengonfirmasi uji coba ini aman. Esok harinya, uji coba kembali dilanjutkan di Inggris.
Selain di Inggris, uji coba juga dilanjutkan kembali di Brasil, India, dan Afrika Selatan. Sementara itu, di Amerika Serikat masih dihentikan. Sejauh ini sekitar 18.000 orang di seluruh dunia yang disuntik dengan vaksin AstraZeneca sejak uji coba dimulai pada April lalu.
Menurut laman The New York Times, myelitis transversal memang bisa menjadi salah satu tanda pertama dari multiple sclerosis. Tapi myelitis transversal juga dapat terjadi setelah tubuh kontak dengan agen infeksi seperti virus. Kasus seperti ini memang jarang terjadi tapi dampaknya serius. Para ahli menyebutkan, menemukan satu kasus dari ribuan peserta menjadi peringatan penting. Lebih dari satu kasus kasus yang terkonfirmasi sudah cukup untuk menghentikan peluang AstraZeneca untuk menawarkan vaksinnya.
"Jika ada dua kasus, maka ini mulai terlihat seperti pola yang berbahaya,” kata Mark Slifka, ahli vaksin di Oregon Health and Science University. “Jika muncul kasus ketiga, maka [nasib] vaksin ini selesai.”
Dr. Paul Offit, seorang profesor di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dan anggota komite penasihat FDA untuk vaksin, punya penilaian senada. Menurut catatannya myelitis transversal jarang terjadi. Didiagnosis hanya satu dari 236 000 orang di Amerika Serikat. Uji coba di Inggris hanya melibatkan 8 000 sukarelawan (seperti disampaikan jubir peneliti Oxford bulan lalu). Selain itu, bagaimana AstraZeneca dan pemerintah Inggris mementukan kasus kedua tidak terkait vaksin tidak dijabarkan dengan jelas.
Mark Goldberger, seorang ahli penyakit menular di Global Antibiotic Research and Development Partnership dan mantan pejaba F.D.A. mengatakan, ujicoba yang buru-buru dilanjutkan "agak mengganggu". Mengingat kurangnya rincian tentang gejal penyakit pasien dan masih belum jelas hubungan dengan vaksin.
Menurut National Institutes of Health, salah satu pusat riset medis terkemuka di Amerika Serikat, masih harus dilihat apakah timbulnya penyakit pada peserta uji coba adalah kebetulan atau ada hubungan dengan vaksin. Dalam situasi itu, prosedur berhenti sejenak untuk memungkinkan evaluasi lebih lanjut selaras dengan praktik standar.
Vaksin yang dikembangkan AstraZeneca bersama Universitas Oxford berjenis recombinant viral vector. Para ahli memanfaatkan adenovirus penyebab flu biasa pada simpanse untuk membawa masuk gen virus corona kedalam tubuh manusia. Adenovirus yang digunakan cukup aman untuk manusia.
Beberapa perusahaan lain, termasuk Johnson & Johnson dan CanSino, menggunakan pendekatan berbasis adenovirus. Meskipun jenis adenovirus, dan bahan spesifik yang digunakan berbeda dari satu vaksin ke vaksin lainnya.
Teknik memproduksi vaksin berbasis adenovirus sudah pernah dilakukan dan berhasil. Namun ada juga kasus efek samping yang sangat serius. Yang paling terkenal adalah kasus Jesse Gelsinger. Remaja berusia 18 tahun itu meninggal pada 1999 setelah menerima terapi gen melalui adenovirus yang memicu respons inflamasi mematikan dari sistem kekebalannya.
Gelsinger menderita defisiensi ornithine transcarbamylase, penyakit genetik pada hati yang gejalanya meliputi ketidakmampuan untuk memetabolisme amonia –produk sampingan dari pemecahan protein. Bayi yang lahir dengan kelainan ini biasanya tidak bertahan. Namun kelainan yang dialami Gelsinger ringan sehingga bisa bertahan hidup dengan diet ketat.
Gelsinger bergabung dengan uji klinis yang dijalankan oleh University of Pennsylvania, yang bertujuan mengembangkan pengobatan untuk bayi yang lahir dengan kondisi kelainan parah. Pada 13 September 1999, Gelsinger disuntik dengan vektor adenoviral yang membawa gen yang dikoreksi untuk menguji keamanan prosedur. Dia meninggal empat hari kemudian. Diduga dia menderita respons imun besar-besaran yang dipicu oleh penggunaan vektor virus untuk mengangkut gen tersebut ke dalam selnya, yang menyebabkan kegagalan banyak organ dan kematian otak.
Karena itu para ilmuwan perlu menentukan akar masalah dari efek samping serius vaksin AstraZeneca. Apakah akar penyebabnya berasal dari vektor adenovirus, atau mungkin gen virus corona yang dibawanya.
Rosyid
--------------
"Jika ada dua kasus, maka ini mulai terlihat seperti pola yang berbahaya.”
Mark Slifka
-----boks -------
Kolaborasi Global Menangkal Pandemi
Pandemi Covid-19 memicu upaya menciptakan vaksin virus corona yang tercatat sebagai kolaborasi tercepat, paling intensif, dengan skala terbesar yang pernah ada di dunia selama keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Ada ratusan kandidat vaksin yang saat ini dalam uji praklinis, puluhan kandidat di uji coba fase 1 dan 2, dan sembilan dalam uji coba fase 3. Keberhasilan yang terbukti dalam dase 3 akan menentukan kemanjuran vaksin, yang kemudian dapat diberikan kepada publik.
Di Indonesia juga ada beberapa inisiatif untuk menciptakan vaksin Covid-19. Yang pertama adalah konsorsium yang dipimpin Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang disebut dengan vaksin Merah Putih. Diperkirakan akhir tahun ini sudah bisa melakukan uji praklinis. Juga ada Kalbe Farma dan Genexine (Korea Selatan) yang akan melakukan uji klinis fase II pada akhir tahun ini. Selanjutnya ada kolaborasi BioFarma-Sinovac yang sedang menyelenggarakan uji klinis tahap III di Bandung.
Saat ini beberapa vaksin yang sedang menjalani uji klinis tahap III
Pembuat
Nama Vaksin
Jenis
Uji coba di
Universitas Oxford – AstraZeneca Plc
AZD1222 atau ChAdOx1 nCoV-19
Recombinant viral vector
Inggris, Brasil, Afrika Selatan, Amerika Serikat, dan India
Moderna dengan American National Institutes of Health
mRNA-1273
messenger RNA (mRNA)
Amerika Serikat
BioNTech, Pfizer dan Fosun Pharma
BNT162b2
mRNA
Amerika Serikat, Argentina, Brazil, Jerman
Sumber: Reuter, the Print, diolah
---------g