Jakarta, Gatra.com - Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa 3 pejabat Garuda Indonesia sebagai saksi kasus dugaan korupsi yang membelit tersangka Djoko Soegiarto Tjandra dan Andi Irfan Jaya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagagung, Hari Setiyono, di Jakarta, Senin (21/9), menyampaikan, ketiga pejabat Garuda yang diperiksa yakni Manager Station Automation System PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, Muhammad Oki Zuheimi; Manager Fraud Prevention PT Garuda Indonesia (persero), Tbk, Herunata Joseph; dan Manager Reservation Ticketing & Distribution System PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, Yeno Danita.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk mencari alat bukti tentang perjalanan keluar negeri Jaksa PSM [Pinangki Sirna Malasari] bersama tersangka AIJ [Andi Irfan Jaya] dan kemudian bertemu dengan tersangka JST [Joko Soegiarto Tjandra]," katanya.
Hari menyampaikan, pemeriksaan ketiga saksi tersebut memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan tentang pencegahan penularan Covid-19, antara lain dengan memperhatikan jarak aman antara saksi dengan penyidik yang sudah menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap serta bagi para saksi wajib mengenakan masker dan selalu mencuci tangan menggunakan hand sanitizer sebelum dan sesudah pemeriksaan.
Dalam perkara korupsi berupa memberikan hadiah atau janji atau gratifikasi, Joko Soegiarto Tjandra atau Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) bersedia memberikan imbalan uang sebesar US$1 juta untuk Pinangki guna mengurus fatwa MA melalui Kejagung. Uang tersebut akan diserahkan melalui pihak swasta, yaitu Andi Irfan Jaya selaku rekan dari Pinangki Sirna Malasari.
"Hal itu sesuai dengan proposal 'action plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM [Pinangki Sirna Malasari] dan diserahkan oleh saudara Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," katanya.
Selain itu, lanjut Hari, Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Djoker juga bersepakat untuk memberikan uang sejumlah US$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan MA guna keperluan mengurus permohonan Fatwa MA tersebut.
Selanjutnya, Djoko Soegiarto Tjandra memerintahkan adik iparnya, yaitu Heriyadi Angga Kusuma (almarhum) untuk memberikan uang kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya di Jakarta sebesar US$500.000 sebagai pembayaran down payment (DP) 50% dari US$1 juta yang dijanjikan.
Kemudian, Andi Irfan Jaya memberikan uang sebesar US$500.000 tersebut kepada Pinangki. Kemudian dari uang US$500.000 tersebut, Pinangki memberikan US$50.000 kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum.
"Sedangkan sisanya sebesar US$450.000 masih dalam penguasaan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H.," ungkap Hari.
Namun dalam perjalanannya, ternyata rencana yang tertuang dalam "acrion plan" di atas tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoker telah memberikan DP sejumlah US$500.000 kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya.
Karena tidak terlaksana, Djoker pada bulan Desember 2019 membatalkan "action plan" atau rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari action plan tersebut dengan tulisan tangan "NO".
Atas perbuatan tersebut, Kejagung menyangka Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Andi Irfan Jaya disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Ayat (1) huruf b atau Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.