Pekanbaru, Gatra.com – Siapapun orang yang mengerti soal kelapa sawit ditanya, jawaban mereka akan sama; Peraturan Gubernur Riau Tentang Tataniaga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit telat nongol, kadung didahului oleh 8 provinsi.
Tapi kalau dipikir-pikir, keterlambatan ini justru membawa hikmah. Dari 22 provinsi penghasil kelapa sawit di Nusantara, Riau adalah provinsi paling istimewa.
Pertama, Riau adalah provinsi yang paling luas kebun kelapa sawitnya, versi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mencapai 3.387.206 hektar. Angka ini setara dengan 21% dari total luas kebun kelapa sawit di Indonesia yang 16.381.957 hektar.
Kedua, dari total luasan kebun kelapa sawit di Riau tadi, sekitar 56% persen adalah milik pekebun. Beda dengan di provinsi lain, kebun kelapa sawit rakyat rata-rata cuma di bawah 30%.
Baca juga: Membelah Malam di BP3 Riau
Lantaran istimewa tadi, Pergub Tataniaga kelapa sawitnya tentu musti paripurna. Lebih dulunya 8 Pergub tadi ditambah dengan kisruh Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) dianggap menjadi pemantik paripurnanya Pergub Riau itu.
Yes, 8 Pergub bisa diracik menjadi satu Pergub Riau, sebab sumbernya satu; Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Pekebun.
“Pembahasan memang alot. GAPKI, Apkasindo dan ASPEK PIR saling adu argumen. Tapi saya yakin itu semua demi mencari kesepahaman terbaik dan itu terbukti,” cerita Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Apkasindo, Rino Afrino, kepada Gatra.com, Senin (21/9).
Ketua Tim Satgas Pergub TBS Riau dari Apkasindo, DR. Anthony Hamzah, cerita, kalau pembahasan yang paling menyita waktu itu ada di Indeks K, Defenisi Petani, Pola Kemitraan, Cangkang dan BOTL.
“Alhamdulillah semua bisa terselesaikan dan GAPKI sendiri bisa memahami keinginan petani yang sudah jeli menengok pasal demi pasal Pergub itu. Jadi, enggak ada masalah, semua saling memahami bahwa Pergub TBS ini untuk kebaikan semua pihak. Walau Pergub TBS Riau terlambat, tapi ada keuntungannya, Pergub Riau bisa menelaah 8 Pergub TBS provinsi lain yang sudah lebih dulu ada. Jadi Pergub TBS Riau lebih canggihlah,” kata Ketua Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) mitra binaan Apkasindo Riau ini.
Lebih jauh lelaki inbi menyebut, setelah Pergub Riau ada, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang tidak ikut bersepakat pada penetapan harga yang diumumkan setiap pekan itu, sudah wajib ikut Pergub Tataniaga TBS Riau.
“Sekarang enggak boleh enggak. Semua sudah dituangkan dalam Pergub itu. Kalau selama ini mereka bisa mengelak, tapi dengan Pergub ini semua PKS yang ada di Riau, yang mencapai 192 unit itu, wajib patuh, kalau membangkang, kami mengusulkan supaya izinnya dicabut saja oleh Gubernur Riau,” tegas Anthony.
Lantaran sudah wajib ikut, ini berarti semua PKS sudah wajib ikut aturan main pemotongan BOTL yang 2,63% itu. “Khusus duit 1% yang digunakan untuk pembinaan pekebun dan kelembagaan pekebun itu, kalau tidak dijalankan, duitnya musti disetor ke Badan yang ditunjuk oleh Gubernur Riau,” katanya.
Seperti Rino, Anthony mengakui kalau pembahasan Pergub TBS Riau itu sangat panas dan menegangkan. Tapi semua bisa terselesaikan dengan baik.
“Kalau Pergub TBS Riau sudah disaahkan oleh Gubernur Riau, maka sejarah akan mencatat peran luar biasa Gubernur Riau dalam memperbaiki Tataniaga TBS petani sawitnya. Sebab selama ini tidak ada aturan yang mengikat, sekalipun ada Permentan 1/2018. Sebab itu tadi, turunan Permentan itu kan Pergub. Pergubnya inilah baru ada,” ujar Anthony.
Apkasindo dan ASPEK PIR kata Gulat, sangat berterima kasih kepada Dinas Perkebunan Riau, khususnya Gubernur Riau yang sudah mempersilahkan tiga organisasi sawit yang ada di Riau ikut membahas dan memberi masukan tentang Pergub Tataniaga TBS Riau itu.
Abdul Aziz