Bantul, Gatra.com - Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) menilai Indonesia membutuhkan contoh nyata keberadaan desa inklusif yang dapat ditiru di 74 ribu desa. Desa inklusif dinilai penting karena desa ini melibatkan partisipasi seluruh masyarakat desa.
Hal ini disampaikan Staf Ahli Kementerian Desa PDTT Bidang Hubungan Antar Lembaga Suprapedi saat membuka 'Festival Inklusif 100%: Di Mata Semesta, Kau dan Aku Sama' secara daring, Senin (21/9).
Festival ini diselenggarakan 21 - 25 September sebagai tindak lanjut dari Festival Kebudayaan Desa yang dihelat Juli lalu dari Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
"Kemendes PDTT mendorong kehadiran desa inklusif yang teroganisir dari pusat hingga daerah. Desa inklusif dianggap ideal karena merangkul perbedaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan," kata Suprapedi.
Konsep desa inklusif ini merangkul semua eleman warga, baik perempuan maupun kaum marjinal, sesuai konseo Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah diratifikasi ratusan negara termasuk Indonesia.
Menurutnya, kebijakan utama Kemendes PDTT periode 2020-2024 menjadikan desa sebagai bagian utama mewujudkan SDGs dalam program nasional. Kemendes menargetkan pertumbuhan desa di berbagai bidang tidak meninggalkan satu orang pun.
"Untuk mewujudkan 17 poin SDGs, kami ingin memfokuskan pembangunan desa pada aspek tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, tidak ada ketimpangan yang merangkul bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan ramah perempuan atau kaum marjinal," ujarnya.
Suprapedi menyatakan, sebagai dasar terwujudnya desa inklusif, pendataan potensi sumber daya desa, baik alam maupun manusia, serta tingkat kemiskinan desa, menjadi penting. Dari data itu, arah pembangunan desa dan upaya melindungi asetnya bisa disiapkan programnya.
Sayangnya sampai saat ini Indonesia belum memiliki satu pun desa inklusif yang berjalan sesuai konsep. Agar ini cepat terwujud, Kemendes PDTT mengajak semua pihak yang peduli desa untuk merumuskan pelembagaan desa inklusif secara tepat.
"Kita ingin ada model percontohan desa inklusif di kabupaten maupun kota. Sebab contoh nyata ini adalah cara yang sangat signifikan untuk diterapkan oleh desa-desa lain di Indonesia," ujarnya.
Kemendes PDTT juga meminta kearifan lokal diterapkan dalam mewujudkan desa inklusif. Kearifan lokal dari desa-desa yang beragam menjadi modal utama pembangunan dan tujuan ke-18 penerapan SDGs di tingkat nasional.
Peneliti The Asia Foundation, Sandra Hamid, menyatakan DIY adalah daerah pertama yang mengupayakan pendekatan inklusi lewat program 'Poros Yogya'. "Poros Yogya adalah program yang bertujuan mengkaji pendekatan sektoran untuk memungkinkan diterapkan dalam pembangunan desa yang lebih luas daripada kerja sektoral," kata Sandra.
Saat ini terdapat 10 desa di Sleman dan Kulonprogo yang tergabung di program ini. Desa-desa ini mendapat pendampingan untuk melihat status medis dan tingkat kerentanan semua kelompok marjinal.
"Festival Inklusif 100% diselenggarakan khusus untuk menyoroti salah satu aspek dari arah tatanan Indonesia baru terutama membangun masyarakat setara semartabat. Tema inklusi sosial diarahkan untuk mencari alternatif untuk keluar dari dikotomi kota-desa, pusat-pinggiran, dan maju-terbelakang," kata dia.
Selain Suprapedi dan Sandra, dua narasumber yang turut hadir secara daring adalah perwakilan Duta Besar Australia Aedan Whyatt dan Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan Budi Wibowo.