Jakarta, Gatra.com - Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa tersangka Andi Irfan Jaya sebagai saksi untuk tersangka Djoko Soegiarto Tjandra (Djokor). Pemeriksaan berlansung di Rutan KPK soal perkembangan fakta penyuapan terhadap oknum Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Pihak yang diperiksa kembali sebagai saksi yaitu saudara Andi Irfan Jaya," kata Hari Setiyono, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagug, di Jakarta, Jumat (18/9).
Hari menjelaskan, pemeriksaan dilakukan untuk melengkapi berkas tersangka Djoker dalam kasus dugaan gratifikasi kepada oknum jaksa Pinangki untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) agar Djoker tidak bisa dieksekusi ke penjara dalam perkara korupsi pengadilah hak tagih (cassie) Bank Bali.
"Pemeriksaan saksi dilaksanakan guna melengkapi kekurangan bahan keterangan karena terdapat perkembangan fakta-fakta hukum yang harus diklarifikasi dan ditanyakan kepada saksi yang juga berstatus sebagai tersangka dalam perkara tersebut di atas," ujarnya.
Sedangkan soal pemeriksaan dilakukan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK, menurut Hari, untuk efektivitas dan mencegah penyebaran Covid-19. Terlebih, Andi Irfan Jaya ditahan di rutan tersebut.
"Untuk mempermudah, pemeriksaan dilakukan di dalam Rutan KPK dengan tetap menjalankan protokol kesehatan, antara lain dengan memperhatikan jarak aman antara tersangka dengan penyidik yang sudah menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)," katanya.
Dalam perkara ini, Djoker bersedia memberikan imbalan uang sebesar US$1 juta untuk Pinangki guna mengurus fatwa MA melalui Kejagung. Uang tersebut akan diserahkan melalui pihak swasta, yaitu Andi Irfan Jaya selaku rekan dari Pinangki Sirna Malasari.
"Hal itu sesuai dengan proposal 'action plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM [Pinangki Sirna Malasari] dan diserahkan oleh saudara Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," katanya.
Selain itu, lanjut Hari, Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Dkoker juga bersepakat untuk memberikan uang sejumlah US$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan MA guna keperluan mengurus permohonan Fatwa MA tersebut.
Selanjutnya, Djoko Soegiarto Tjandra memerintahkan adik iparnya, yaitu Heriyadi Angga Kusuma (almarhum) untuk memberikan uang kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya di Jakarta sebesar US$500.000 sebagai pembayaran down payment (DP) 50% dari US$1 juta yang dijanjikan.
Kemudian, Andi Irfan Jaya memberikan uang sebesar US$500.000 tersebut kepada Pinangki. Kemudian dari uang US$500.000 tersebut, Pinangki memberikan US$50.000 kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum.
"Sedangkan sisanya sebesar US$450.000 masih dalam penguasaan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H.," ungkap Hari.
Namun dalam perjalanannya, ternyata rencana yang tertuang dalam "acrion plan" di atas tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoker telah memberikan DP sejumlah US$500.000 kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya.
Karena tidak terlaksana, Djoker pada bulan Desember 2019 membatalkan "action plan" atau rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari action plan tersebut dengan tulisan tangan "NO".
Atas perbuatan tersebut, Kejagung menyangka Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan Andi Irfan Jaya disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Ayat (1) huruf b atau Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.