Home Info Sawit Nasib Buntung Anak Pekebun Kampung

Nasib Buntung Anak Pekebun Kampung

Pekanbaru, Gatra.com - Seleksi Nasional Beasiswa Sawit Indonesia - Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (SNBSI-BPDPKS) 2020, sudah rampung. Dari sekitar 4000-an orang yang mendaftar, 655 orang dinyatakan lulus pada 7 September 2020.

Ada 6 kampus yang bakal menampung para lulusan itu; AKPY-Stiper Yogyakarta, Politeknik LPP Yogyakarta, Politeknik CWE Bekasi, Politeknik Kampar, STIPAP Medan dan ITSB-Bekasi.

Tapi sayang, tak semua rupanya yang lulus tadi mendaftar ulang. Di Politeknik Kampar misalnya, dari 75 kuota yang ada, 8 orang kabarnya tak jelas. Begitu juga di kampus Politeknik LPP Yogya, ada sekitar 8 orang yang tak mendaftar ulang. Mau tak mau kampus setempat terpaksa memanggil cadangan yang ada, lewat lembaga yang menyeleksi para calon mahasiswa tadi. Namanya Asosiasi Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Sawit (Alpensi).

Tidak mendaftar ulangnya calon mahasiswa yang lulus tadi memunculkan ulasan tak sedap. Tudingan bahwa banyak calon mahasiswa yang mendaftar itu bukan anak-anak pekebun dan buruh kebun kampung miskin ---tak mampu secara ekonomi --- berseliweran.

"Kalau benar semua yang mendaftar itu anak buruh dan pekebun miskin, mereka pasti mendaftar ulang. Sebab mereka sangat butuh beasiswa itu," kata Ketua Organisasi Kaderisasi Keanggotaan (OKK) DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau, Emi Rosadi kepada Gatra.com, kemarin.

Ketua DPD Apkasindo Indragiri Hulu (Inhu) ini pun mendesak supaya mereka yang lulus beasiswa tahun ini, dicek ulang dulu asal-usulnya. "Biar semua jelas. Sebab beasiswa ini extraordinary, program yang bersifat spesial. Sasarannya anak-anak buruh kelapa sawit dan pekebun kelapa sawit miskin, biar nanti setelah lulus, mereka kembali ke kampung untuk meneruskan kebun dengan system yang lebih bagus. Kalau kelak tak mau kembali ke kampung dan malah bekerja di perusahaan, buat apa?” rutuk lelaki 36 tahun ini.

Emi kemudian menyayangkan system seleksi yang dijalankan oleh Alpensi dua tahun belakangan. Kesan yang muncul, bahwa kelulusan berdasarkan skor nilai ujian, “Ini sama saja dengan seleksi umum, berbasis online pula. Ini enggak extraordinary lagi namanya,” Emi semakin dongkol.

Gara-gara seleksi berbasis internet itu kata Emi, ada ratusan anak-anak buruh dan pekebun kelapa sawit miskin di Inhu yang tidak dapat kesempatan ikut seleksi beasiswa meski mereka sangat ingin. "Mereka tinggal di pedalaman dan kesulitan akses informasi. Lalu banyak juga mereka yang tak punya perangkat untuk mengakses internet. Yang kayak begini, ya enggak bakal dapat kesempatanlah," katanya.

Dulu waktu awal-awal beasiswa muncul kata Emi, proses seleksi dilakukan secara langsung. Lokasi seleksi dicocokkan dengan kondisi yang ada. "Bukan kami sok-sok mau mengklaim ya. Hanya Apkasindo yang tahu mana anak buruh dan pekebun miskin dan mana yang tidak. Pengurus kami ada hingga di kecamatan, namanya Dewan Pimpin Unit (DPU). Awal-awal beasiswa kami banyak membantu proses seleksi ini. Ini kami lakukan lantaran kami sadar bahwa beasiswa ini memang diperuntukkan bagi anak-anak tak mampu secara ekonomi. Makanya kami cari orang yang berhak untuk itu," katanya.

Mestinya kata Emi, Alpensi paham dengan kondisi itu. Jadi, walaupun ada seleksi online, tetap juga dibikin seleksi manual. “Kami minta pola seleksi dikembalikan ke formula awal. Apkasindo tidak meminta untuk dijadikan pendamping proses seleksi itu. Mau lembaga manapun, silahkan, yang penting lembaga itu paham medannya. Kasihan anak-anak yang berhak menjadi tak kebagian lantaran formulanya melenceng," tegasnya.

Ketua Bidang SDM DPP Apkasindo, Sunyoto, juga tak menampik kalau program beasiswa yang ada saat ini sudah melenceng dan bahkan liar. “Siapa yang bisa memverifikasi berkas online? Beda dengan awal-awal dulu. Kita gampang memverifikasi tentang kebenaran berkas anak-anak yang ikut seleksi. Awal-awal dulu kita masih diajak berunding. Kita dilibatkan dalam perekrutan. Itulah makanya kita ikut mencari anak-anak yang berhak, lalu kita seleksi sedemikian rupa. Mohon maaf saja, yang tahu soal anak-anak petani ini kan Apkasindo dan Aspek Pir. Waktu itu Samade belum ada,” katanya.

Setelah seleksi online kata lelaki yang bermukim di pulau Kalimantan ini, dia sudah lepas tangan dengan yang namanya beasiswa itu. “Saya sampai ditelepon oleh salah seorang petinggi Alpensi kenapa dari tempat saya jumlah yang mendaftar meresot tajam. Saya jawab saja saya enggak ikut-ikutan lagi. Saya salut dengan teman-teman di Sumatera yang masih mau mencarikan anak-anak untuk ikut seleksi. Memang cara seperti ini menguntungkan petani kita juga. Tapi Alpensi mana tahu menahu soal ini? Mereka tidak tahu kalau pengumuman seleksi beasiswa itu justru bisa sampai ke kampung-kampung, lantaran campur tangan kita. Kalau enggak, enggak akan,” katanya.

Alumnus Stiper Yogya ini tidak menentang system online yang ada. “Tapi tetap ada prosedur yang dibikin. Misalnya, kita di DPU mencari anak-anak yang berhak ini, lalu berkasnya kita register, biar kita benar-benar tahu asal-usul anak-anak yang ikut seleksi ini. Kalau pemberkasan sudah beres, silahkan lakukan seleksi online di kecamatan,” ujar lelaki 60 tahun ini.

Kalau beasiswa ini mau diteruskan kata Sunyoto, sistemnya harus dirubah. Duduk bersama. “Yang wajib membikin system beasiswa ini Apkasindo dan BPDPKS. Enggak akan ada yang bisa membantah bahwa Apkasindo lah yang membidani beasiswa ini, saya yang ikut menggagasi dari awal,” katanya.

Itulah makanya kata Sunyoto, jurusan yang dibikin pun cuma dua; Budidaya Tanaman Kelapa Sawit dan Pengembangan Kelembagaan Koperasi. “Anak-anak lulusan beasiswa inilah sebenarnya yang kita harapkan kelak menjadi pengganti orang tuanya. Tentu lantaran sudah punya ilmu, mudah-mudahan lebih baik lagi hasil kebunnya. Tapi sekarang, kampus yang menerima malah sudah banyak, jurusannya pun macam-macam. Jadi kayak ajang bagi-bagi saja ini, yang penting dapat jatah beasiswa, kesannya kayak begitu,” ayah dua anak ini mulai jengkel.

Sekali lagi kata Sunyoto, kalau beasiswa mau diteruskan, segera benahi system yang ada. "Kalau tidak, saya minta ini diboikot saja dulu. Jangan dulu ada penerimaan beasiswa,” tegasnya.

Emi sendiri mengusulkan, kalau beasiswa masih berlanjut, anak-anak yang lulus beasiswa itu diikat perjanjian untuk mengabdi di kampungnya minimal lima tahun. "Biar program ini benar-benar bermanfaat," katanya.

Mantan Rektor Institut Pertanian Instiper Yogya, Purwadi tak menampik kalau roh beasiswa kelapa sawit saat ini sudah melenceng jauh.

"Tahun 2015 Apkasindo menggagas beasiswa ini. Biaya untuk itu rencananya dari hasil iuran petani. Tapi setahun kemudian, saya menjembatani pertemuan di Eastparc Hotel Yogyakarta," kenang Doktor jebolan Universitas Gadjah Mada ini saat berbincang dengan Gatra.com.

Di pertemuan itu kata Purwadi, ada utusan dari Dirjen Bun, BPDPKS diwakili Dirut saat itu, Bayu Krisnamurthi hadir. Begitu juga dengan Apkasindo, Aspek PIR dan GAPKI.

"Di pertemuan itu dideklarasikanlah bahwa beasiswa itu dibiayai BPDPKS. Lantaran deklarasinya persis 17 Agustus 2016, kami bikinlah tema; memerdekakan petani melalui kelembagaan dan SDM," katanya.

Di bulan Agustus itu kata Purwadi belum ada rekrutmen. "Saya kemudian ditantang Pak Bayu, apakah siap melakukan rekrutmen di akhir tahun ini? Saya bilang siap. Oktober, hadirlah beasiswa perdana. Apkasindo yang saya gandeng untuk proses seleksi itu," ujarnya.

Sayang, hingga berita ini dipublish, Ketua Umum Alpensi, Gunawan Ciptadi tak merespon pertanyaan yang dikirim Gatra.com melalui WhatsApp.

Hanya saja menurut Direktur Politeknik Kampar, Nina Veronika, lantaran situasi pandemi, proses rekrutment secara online sudah sesuai.

"Semua syarat pun sudah sesuai prosedur dan harapan. Pelaksanaan difasilitasi. Misalnya kalau anak-anak ada masalah di jaringan, bisa ikut tes lagi di hari berikutnya," kata anggota Alpensi ini kepada Gatra.com, kemarin.

Bagi Nina, keberadaan Alpensi sangat menolong. "Kampus yang tadinya promosinya kurang, menjadi terbantu. Karena bersama-sama, kerja jadi ringan, data terpusat," katanya.

Tapi ke depan, Nina berharap ada seleksi tatap muka biar anak-anak yang dari pelosok bisa ikut seleksi. "Di Kampar masih banyak blank sinyal, jadi buat mereka tentu perlu dilakukan seleksi tatap muka," pintanya.


Abdul Aziz

 

1872