Jakarta, Gatra.com - Jaksa Pinangki Sirna Malasari diduga telah menerima uang sejumlah US$500.000 dari US$1 juta yang dijanjikan terpidana perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, di Jakarta, Kamis (17/9), mengungkapkan kronologi tentang uang tersebut. Menurutnya, itu sebagai imbalan bagi Pinangki untuk megurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung agar Djoker tidak bisa dieksekusi ke penjara.
Hari menuturkan, penyuapan terhadap terdakwa Pinangki berawal sekitar November 2019. Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H., selaku seorang Jaksa pada Kejagung bersama-sama dengan Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya bertemu dengan Joko Soegiarto Tjandra.
"Betemu Djoko Soegiarto Tjandra merupakan buronan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali di kantornya yang terletak di The Exchange 106 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia," ungkapnya.
Saat itu, lanjut Hari, Joko Soegiarto Tjandra setuju meminta Pinangki dan Anita Kolopaking untuk membantu pengurusan gatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung. Tujuannya, agar pidana Djoker berdasarkan Putusan PK Nomor:12 PK/ Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni 2009 tidak dapat dieksekusi sehingga dia dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
"Atas permintaan tersebut, terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H. dan Saudari Anita Kolopaking bersedia memberikan bantuan tersebut," ujarnya.
Djoker lantas bersedia menyediakan imbalan berupa uang sebesar US$1 juta untuk Pinangki guna mengurus perkara tersebut. Namun, uang tersebut akan diserahkan melalui pihak swasta, yaitu Andi Irfan Jaya selaku rekan dari Pinangki Sirna Malasari.
"Hal itu sesuai dengan proposal 'action plan' yang dibuat oleh terdakwa PSM [Pinangki Sirna Malasari] dan diserahkan oleh saudara Andi Irfan Jaya kepada Joko Soegiarto Tjandra," katanya.
Selain itu, lanjut Hari, Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Dkoker juga bersepakat untuk memberikan uang sejumlah US$10 juta kepada pejabat di Kejagung dan di MA guna keperluan mengurus permohonan Fatwa MA melalui Kejagung.
Selanjutnya, Djoko Soegiarto Tjandra memerintahkan adik iparnya, yaitu Heriyadi Angga Kusuma (almarhum) untuk memberikan uang kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya di Jakarta sebesar US$500.000 sebagai pembayaran down payment (DP) 50% dari US$1 juta yang dijanjikan.
Kemudian, Andi Irfan Jaya memberikan uang sebesar US$500.000 tersebut kepada Pinangki. Kemudian dari uang US$500.000 tersebut, Pinangki memberikan US$50.000 kepada Anita Kolopaking sebagai pembayaran awal jasa penasihat hukum.
"Sedangkan sisanya sebesar US$450.000 masih dalam penguasaan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H.," ungkap Hari.
Namun dalam perjalanannya, ternyata rencana yang tertuang dalam "acrion plan" di atas tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoker telah memberikan DP sejumlah US$500.000 kepada Pinangki melalui Andi Irfan Jaya.
Karena tidak terlaksana, Djoker pada bulan Desember 2019 membatalkan "action plan" atau rencana aksi dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dari action plan tersebut dengan tulisan tangan "NO".
Pinangki kemudian menukarkan sisa uang US$450.000 melalui sopirnya, Sugiarto dan Beni Sastrawan. Uang hasil penukaran valas itu lalu digunakan Pinangki untuk membeli mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di Amerika, dan pembayaran sewa apartemen atau hotel di New York.
Selain itu, pembayaran dokter home care, pembayaran kartu kredit, dan transaksi lain untuk kepentingan pribadi terdakwa serta pembayaran sewa Apartemen Essence Darmawangsa dan Apartemen Pakubowono Signature yang menggunakan cash atau tunai US$.
"Atas perbuatan terdakwa Dr. Pinangki Sirna Malasari, S.H., M.H. tersebut patut diduga sebagai perbuatan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi," katanya.
Dalam perkara tindak pidana korupsi, JPU menuduh Pinangki melanggar dakwaan kesatu, yakni primair; melanggar Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Subsidairnya, melanggar Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan untuk dakwaan pencucian uang, JPU menuduh Pinangki melangar dakwaan kedua, yakni Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedangkan untuk dakwaan ketiganya, primair; melanggar Pasal 15 juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 88 KUHP.
Untuk dakwaan ketiga subsidairnya, melanggar Pasal 15 juncto Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 88 KUHP.
TIm Jaksa Penuntu Umum (JPU) Kejagung dan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) telah melimpahkan berkas perkara Pinangki ke Pengadilan TIndak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis (17/9).
"Pelimpahan berkas perkara tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan tentang pencegahan penularan Covid-19," ujarnya.