Jakarta,Gatra.com - Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sudah wajib bagi perusahaan perkebunan sejak Maret lalu, persis setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Beda dengan pekebun, peraturan yang dibikin supaya perkebunan kelapa sawit layak secara ekonomi, sosial, serta ramah lingkungan itu, baru akan berlaku lima tahun sejak Perpres itu diteken.
Ketua Sekretariat Komisi ISPO, Azis Hidayat menyebut, sampai Maret 2020, sudah ada 793 pelaku usaha perkebunan yang ikut sertifikasi ISPO.
Dari jumlah itu, 775 perusahaan, 11 KUD/KSU Kebun Plasma, 1 BumDes dan 6 koperasi/asosiasi kebun.
Namun yang kemudian kebagian sertifikat ISPO hanya 621 dengan total luas kebun kelapa sawit mencapai 5,4 juta hektar. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) 60,26 juta ton pertahun dan Crude Palm Oil (CPO) 37,8 juta ton pertahun.
"Produktivitas kebun itu 18,96 ton perhektar pertahun dengan rendemen rata-rata 24,45%," rinci Azis kepada Gatra.com, Kamis (17/9).
Lebih jauh Azis merinci, 621 yang menerima sertifikat itu antara lain; 557 perusahaan swasta dengan luas areal sekitar 5,15 juta hektar, perusahaan negara 50 sertifikat dengan luas areal 286 ribu dan 14 koperasi plasma dan swadaya dengan luas lahan 12 ribu hektar lebih.
Tapi belakangan, ada enam perusahaan yang sertifikatnya dicabut. "Itu terjadi lantaran saat surveillance, ada temuan ketidaksesuaian dan perusahaan tidak mampu memenuhinya sampai batas waktu yang ditentukan," ujarnya.
Meski ada sertifikat yang dicabut, ada juga 72 calon sertifikat yang akan dibahas. Tapi lantaran keburu pandemi Covid-19, sampai sekarang belum jadi.
Tak hanya membahas yang 72 calon sertifikat itu yang tak jadi, tapi aktifitas sertifikasi ISPO pun sampai sekarang mandeg.
"Itu mandeg lantaran menunggu Peraturan menteri pertanian (Permentan) yang mestinya sudah ada pada April 2020. Tapi lantaran pandemi, permentan belum jadi," katanya.
Sesuai Perpres kata Azis, Sekretariat Komisi ISPO sudah tidak ada lagi. Meski begitu, komisi ini masih menjalankan tugas walau sudah tidak melakukan verifikasi lagi.
Sejauh ini kata Azis, ada sederet persoalan yang mendera proses sertfikasi ISPO itu. Mulai dari kualitas laporan hasil audit ISPO yang masih belum sesuai dengan prinsip dan kriteria ISPO, Pemerintah Daerah khususnya Dinas Perkebunan yang belum berperan, hingga persoalan legalitas lahan, termasuklah itu lahan pekebun swadaya yang terindikasi berada dalam kawasan hutan.
Bagi Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, butuh pendidikan lebih lanjut supaya industri sawit semakin berkembang.
"ISPO itu harus, untuk menuju SDGs yang telah dibuat PBB. Kita harus mengarah ke situ dan bersinergi," ujarnya.