Home Internasional Ketakutan yang Diembuskan Kaum Kanan

Ketakutan yang Diembuskan Kaum Kanan

Kelompok kanan anti-imigran mendorong pemerintah Swedia merevisi kebijakan imigrasinya. Kampanye mereka tentang islamisasi berhasil mengubah pandangan sebagian masyarakat Skandinavia yang selama ini dikenal ramah dan terbuka.


Kaum muslim di Swedia terus diprovokasi. Kamis pekan lalu, kembali aksi bakar Al-Quran terjadi di Stockholm. Kali ini di Rinkeby, wilayah konsentrasi populasi muslim di pinggiran ibu kota Swedia itu. Pelakunya kelompok sayap kanan Stram Kurs.

Video pembakaran Al-Quran itu diunggah pemimpin Stram Kurs, Rasmus Paludan, di Facebook. "Hari ini, Stram Kurs membakar Al-Quran di wilayah kumuh Swedia, Rinkeby. Banyak kriminal yang mengatakan kami tak akan melakukannya. Tapi, kami mampu,” ujar Rasmus Paludan di akun Facebook miliknya seperti dikutip Al Jazeera.

Kelompok garis keras sayap kanan Denmark itu sudah mengajukan izin membakar kitab suci di Rinkeby, Fitttja, Alby, Husby, dan Upplansveby pada Sabtu pekan lalu. Polisi tidak memberikan izin. Namun pada Kamis minggu berikutnya, kelompok tersebut telah melakukannya. Polisi kecolongan.

Hussein Farah, cendekiawan muslim terkenal sekaligus imam masjid Rinkeby, meminta umat Islam menahan diri dan tidak terprovokasi. Kepada umat, Imam Hussein Farah meminta umat untuk tenang. "Tidak dapat diterima jika apa yang terjadi di Malmö terjadi di sini," katanya.

Bulan lalu di kota Malmö, Swedia bagian selatan, aksi bakar Al-Quran oleh pendukung Stram Kurs memicu reaksi dan berakhir rusuh. Kelompok Stram Kurs menyebut Islam sebagai agama yang jahat dan primitif serta tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang beradab.

“Islamisasi Swedia merupakan ancaman langsung dan serius bagi keamanan dan kebahagiaan rakyat Denmark. Begitu juga dengan keamanan dan kebahagiaan rakyat Swedia. Kami tidak akan pernah menerimanya tanpa perlawanan!" kata Paludan di dinding Facebook-nya.

Paludan, yang juga pengacara, mendirikan kelompoknya pada 2017 di Denmark. Denmark adalah negara homogen yang cenderung tertutup terhadap imigran. Meskipun begitu, paham ekstrem yang ditawarkan Stram Kurs tidak populer di mata masyarakat Denmark.

Buktinya mereka gagal mendapat kursi parlemen Denmark pada pemilu 2019. Meskipun begitu, ide-ide kelompok ini menyebar dengan cepat di kalangan sayap kanan di Swedia.

Jika menilik sejarah, Swedia sebenarnya ramah terhadap pendatang. Bahkan pada 2015, Swedia ini menerima pengungsi per kapita terbanyak di Eropa setelah Jerman. Para imigran ini umumnya korban perang Suriah ataupun pengungsi dari Afrika yang sebagian muslim.

Sikap itu berbeda dengan negara tetangganya, Denmark, yang memilih kebijakan menutup pintu untuk pengungsi. Selain Denmark, Norwegia, Islandia, dan Finlandia juga membatasi jumlah imigran.

Denmark dan Norwegia dikuasai partai-partai populis sayap kanan yang menjajakan retorika anti-imigran dan anti-muslim. Lima tahun lalu, orang-orang di Norwegia menganggap warga Swedia naif dan tidak waspada terhadap ancaman imigran. Sebaliknya, orang Swedia menganggap orang Norwegia rasis.

Kebijakan imigrasi pintu terbuka yang dianut Swedia mencapai titik kulminasi pada 2015. Saat itu, Swedia menerima menerima 163.000 pengungsi yang kebanyakan dari perang Suriah. Awalnya ada antusiasme yang besar dari masyarakat dan parlemen, namun memudar seiring dengan meningkatnya jumlah pengungsi.

Kelompok sayap kanan mengungkapkan kebencian mereka secara terbuka. Yang dikampanyekan adalah ancaman lunturnya budaya asli Swedia, digantikan budaya Islam. Digambarkan juga, imigran Islam itu tidak bisa berintegrasi dengan kultur Swedia.

Bahkan ada yang menganggap para imigran itu melakukan islamisasi. Apalagi ketika beberapa tahun kemudian ada warga imigran di Swedia terlibat aksi teror dan masuk dalam jaringan ISIS, prasangka pada imigran semakin kuat.

Pada 2015, juga lahir undang-undang pembatasan sementara bagi imgran. Yaitu hanya mengeluarkan izin tinggal sementara, membatasi hak untuk reunifikasi keluarga, dan membuat izin tinggal untuk anggota keluarga dengan syarat jaminan dukungan keuangan. Regulasi baru ini berhasil menekan para pencari suaka. Tahun 2016 hanya 28.939 orang yang mengajukan suaka di Swedia.

Aturan ni memang berhasil memotong jumlah migran, tapi tidak meredam perdebatan. Terutama antara Partai Hijau yang ingin kembali ke regulasi pra-2015 dan Partai Demokrat yang cenderung ingin menutup pintu dan memulangkan para imigran ke negara asalnya.

Untuk mencari solusi terbaik, dibentuk komite imigrasi pada 2019 yang diharapkan bisa menyiapkan regulasi final sehingga tidak ada lagi perdebatan tentang imigran. Agustus lalu, rancangan undang-undang itu diumumkan.

Poin pentingnya adalah memberi batas waktu untuk izin tinggal pencari suaka, yaitu tiga tahun.

Tempat tinggal permanen untuk pengungsi dengan syarat bisa berbahasa Swedia, mampu menghidupi dirinya sendiri, dan pengetahuan dasar tentang masyarakat Swedia. Izin tinggal diberikan juga atas dasar kemanusiaan dan kuota PBB.

Menurut Jesper Bengtsson, penulis dan jurnalis Swedia dalam tulisannya di laman International Politics and Society, pekan lalu, proposal itu banyak mendapat kritikan dan penolakan kalangan politisi. Partai kiri dan tengah cenderung ingin membuat peraturan yang lebih liberal, sementara partai kanan menuntut regulasi yang lebih tegas, terutama mekanisme pemulangan para imigran ke negeri asal. “Perdebatan migrasi tetap menemui jalan buntu seperti pada tahun 2015,” tulisnya.

Partai Sosial Demokrat yang berkuasa selama ini mendapat manfaat dari para imigran. Mayoritas imigran cenderung memilih partai kiri-tengah, seperti Sosial Demokrat dan Partai Demokrat.

Perkembangan besar terjadi pekan lalu. Perdana Menteri Swedia Stefan Löfven, yang berasal dari Sosial Demokrat, yang selama masa jabatannya konsisten membantah adanya hubungan antara imigrasi massal dan kejahatan, mengubah pendapatnya tentang masalah ini.

“Imigrasi yang besar, di mana kami tidak dapat mengatasi integrasi, juga membawa risiko yang lebih besar. Ini sangat jelas, ”kata Löfven dalam debat parlemen ketika ditekan oleh pemimpin Demokrat Swedia Jimmie Åkesson, seperti dilaporkan laman Sputniknews pekan lalu.

Lalu dalam kesempatan terpisah, Löfven menjelaskan persoalan yang muncul adalah masalah integrasi imigran dan warga lokal. Jika tidak terjadi integrasi maka akan timbul ketegangan sosial. Menurutnya, situasi tegang sekarang terjadi di masyarakat Swedia. "Dan itulah mengapa pemerintah yang saya pimpin memastikan untuk mengubah kebijakan imigrasinya, ” kata Löfven.

Sampai tahun 1990-an, Swedia adalah salah satu negara paling homogen di Eropa. Namun, setelah beberapa dekade imigrasi massal, pangsa imigran dan keturunan mereka dengan cepat melonjak menjadi sekitar seperempat dari populasi Swedia yang berjumlah sekitar 10 juta orang.

Menurut Tobias Hübinette, seorang peneliti demografi, 52,8% dari semua anak di kota besar adalah keturunan imigran. Bahkan, diperkirakan etnis Swedia bisa menjadi minoritas di negara mereka sendiri antara tahun 2040 dan 2065.

Rosyid