Jakarta, Gatra.com - Penegak hukum harus hati-hati dalam menangani perkara yang diadukan masyarakat agar tidak menjadikan perkara perdata sebagai kasus pidana.
"Aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa harus waspada bila ada aduan atas masalah perdata ke pidana," kata Hikmawanto Juwana, pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) kepada wartawan, Senin (14/9).
Menurutnya, aparat penegak hukum harus hati-hati dan cermat menentukan suatu perkara agar tidak terjadi kriminalisasi. Jika perkara perdata ditarik ke pidana, itu merupakan kriminalisasi.
Ia menjelaskan, perkara utang piutang dan perjanjian kerja bukan merupakan tindak pidana. Penegak hukum harus memahami bahwa tindak pidana itu harus ada niat jahat (mens rea) atau actus reus. "Kalau tidak ada 2 hal tersebut, maka yang terjadi adalah masalah perdata," katanya.
Seperti diketahui, banyak perkara hukum yang akhirnya dinyatakan sebagai perkara perdata. Salah satu perkaranya yakni kasus investasi di Blok Basker Manta Gummy, Asutralia, yang awalnya diajukan ke pengadilan sebagai perkara tindak pidana korupsi.
Perkara ini berakhir di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa aksi korporasi bukan merupakan tindak pidana korupsi. Business judgment rule bukan merupakan tindak pidana.
"Menurut majelis hakim, putusan direksi dalam suatu akivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Kendati putusan itu pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi perseroan, tapi itu merupakan risiko bisnis," kata Andi Samsan Ngandro, Jubir MA pada Selasa (10/3/2020).
Kemudian, ada juga perkara PT DBG dan PT GPE di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Majelis hakim membebaskan Komisaris PT DBG, Robianto Idup, dari segala tuntutan jaksa penuntut umum karena tidak terbukti melakukan penipuan. Majelis menyatakan perkara ini bukan pidana, melainkan perdata karena ada perjanjian kerja.