Jakarta, Gatra.com – Meski sempat diwarnai debat, perundingan antara Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Pekebun Perkebunan Inti Rakyat (Aspek Pir), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Kepala Dinas Perkebunan Riau di lantai dua kantor Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau, di kawasan jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru, Kamis pekan lalu, berakhir mulus.
Ada lima poin penting yang dihasilkan dalam rundingan itu. Salah satunya adalah; bahwa hasil penetapan harga TBS Tim Kelompok Kerja Penetapan Harga Disbun Riau hanya berlaku bagi Pabrik Kelapa Sawit dan groupnya yang bermitra dengan Pekebun Plasma.
Poin ini sesuai dengan penjelasan penggunaan duit Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL) yang sempat dipersoalkan pekebun swadaya. Bahwa di Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Pekebun disebutkan bahwa BOTL dipakai untuk overhead kebun plasma.
Bahasa inilah yang kemudian membikin pekebun swadaya miris. Bahwa meski 92 persen luas kebun non perusahaan adalah milik pekebun swadaya, tapi urusan aturan penetapan harga, hanya mengakomodir kepentingan kebun plasma yang luasnya cuma sekitar 8 persen.
Wajar jika kemudian, urusan harga, potongan timbangan, plasma sangat diuntungkan. Alasannya itu tadi, ada aturan resmi yang dibikin pemerintah. Sementara pekebun swadaya, dengan alasan tidak punya kelembagaan, kualitas TBS diragukan, cuma bisa masuk dalam pusaran harga pasar alias harga yang ditetapkan oleh PKS yang menampung.
Kalaupun kebetulan ada pekebun yang sudah punya kelembagaan, giliran PKS mitranya pula yang tidak terdaftar sebagai anggota tim penetapan harga Disbun Riau. “Perundingan di Disbun tempo hari itu benar-benar membikin saya terdiam. Merenung tak karuan. Kalau dibilang TBS kami tak berkualitas, toh sebelum bekerja sama dengan PKS, sampel TBS kami diambil mereka dulu. Diuji kadar rendemennya. Hasilnya, PKS bilang rendemen kami bagus, itulah makanya kerjasama lanjut,” cerita Hendri Alfian, salah seorang pekebun swadaya di kawasan Indragiri Hulu (Inhu), Riau, kepada Gatra.com, Senin (14/9).
Tapi memang itu tadi kata lelaki 56 tahun ini. Sortasi yang diberlakukan PKS cukup besar. Jauh di atas 2,5 persen. Terus yang namanya pembinaan tidak ada. “Enggak ada istilah pembinaan seperti yang ada dalam Permentan itu,” katanya.
Yang membikin Hendri tak habis pikir, giliran sudah menjadi Crude Palm Oil (CPO), tidak ada dibedakan tanki CPO asal kebun Swadaya, Plasma maupun perusahaan. Semua bercampur menjadi satu: CPO Kelapa Sawit. “Asli macam kena akal-akali aja awak,” ayah satu anak ini tertawa kecut dalam logat Talang Mamaknya.
Pekebun yang nasibnya paling miris lagi kata Hendri adalah pekebun swadaya yang sudah bertahun-tahun bermitra dengan loading ramp alias Veron. “Veron tidak dianggap mewakili pekebun untuk bermitra. Potongan dan harga kena banyak. Itulah nasib mereka,” katanya.
Tak masuknya pekebun swadaya dalam Permentan tadi kata Hendri, menambah daftar panjang penderitaan pekebun swadaya. Sebab sebelumnya, pekebun swadaya sudah didera oleh klaim kawasan hutan yang sampai saat ini tidak jelas jalan keluarnya seperti apa.
“Kawasan hutan yang jelas-jelas menabrak pasal 14 dan 15 UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dipaksakan kepada kami. Sudah kemana-mana saya bertanya soal Berita Acara Tata Batas (BATB) dan peta temu gelang klaim kawasan hutan itu, tapi enggak ada jawaban. Kalau SK 903 yang dikeluarkan tahun 2016 itu saya tengok, masih SK penunjukan,” rutuknya.
Gara-gara klaim kawasan hutan ini kata Hendri, mustahil pekebun bisa memenuhi mandatory Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang akan berlaku pada 2025. “Dan kami juga akan mustahil ikut program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) lantaran syarat PSR, lahan kebun tidak berada dalam kawasan hutan,” katanya.
Untunglah keluhan Hendri ini langsung didengar oleh DPP Apkasindo. Jumat pekan lalu, Sekjen DPP Apkasindo, Rino Afrino yang diutus oleh Ketua DPP Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung mengikuti Rapat Koordinasi dan Evaluasi Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit Indonesia 2020 di Bogor Jawa Barat, persoalan Pekebun swadaya itu langsung dihamparkan Rino.
Dalam helat yang ditaja oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI itu, tak hanya Apkasindo yang hadir, tapi juga Dinas Perkebunan seluruh Indonesia, Tim Harga TBS dan GAPKI. “Permentan nomor 1/2018 itu dibikin untuk memberikan perlindungan kepada pekebun dalam mendapatkan harga TBS yang wajar dan mencegah persaingan tidak sehat di antara perusahaan. Tapi fakta di lapangan justru berkata lain. Salah satunya yang dirasakan Pak Hendri itulah,” katanya.
Di hamparan itu pula mencuat bahwa persoalan yang dialami Pekebun swadaya tidak hanya terjadi di Riau, tapi di 22 provinsi penghasil kelapa sawit. “Harga TBS di wilayah Timur malah lebih rendah 40 persen ketimbang di wilayah Barat. Ini kan jadi pertanyaan besar,” ujar Rino.
Lantaran itulah kata Rino, Permentan Nomor 1/2018 musti diperbaiki, biar pekebun khususnya pekebun swadaya, terlindungi dalam hal penetapan standar biaya biaya, rendeman hingga pembentukan kelembagaan pekebun.
“Kami berharap di perubahan Permentan itu dimasukkan seluruh model kemitraan antara petani dan pengusaha. Semua PKS yang menerima TBS Pekebun swadaya, wajib ikut Harga Tim Penetapan. Untuk ini, pemerintah, baik pusat maupun daerah, mengawasi dan bertindak tegas kepada pabrik yang melanggar Permentan itu. Pengawasan tentu musti dimulai dari tingkat kabupaten,” pintanya.
Kalau tata niaga TBS Kelapa Sawit ini kata Rino sudah berkeadilan, apapun rencana yang bakal dibikin oleh pemerintah, akan jauh lebih berhasil, termasuk upaya pemerintah melanjutkan mandatori B30. "Kami sangat yakin itu. Biodiesel adalah upaya pemerintah memperkuat ketahanan energi. Mengurangi duit melayang keluar akibat membeli solar. Kalaupun perusahaan swasta yang mengolah CPO itu menjadi biodesel, duitnya tetap berputar di dalam Negeri," katanya.
Abdul Aziz