Jakarta, Gatra.com - Menterian Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/BRIN), Bambang PS Brodjonegero, berpendapat bahwa pemanfaatan bahan bakar nabati green diesel D100 dari dari sawit dapat mendorong percepatan ekonomi nasional.
"Bahan bakar nabati berbasis sawit diprediksi akan menjadikan perekonomian Indonesia bergerak lebih cepat," kata Bambang dalam keterangan pers yang diterima Gatra.com di Jakarta, Kamis (10/9).
Menurut Bambang, pemanfaatan bahan bakar ini juga dapat meminimalisir dampak perlambatan ekonomi yang kini mulai melanda banyak negara di dunia akibat pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19).
Kemenristek/BRIN, lanjut Bambang, mengapresiasi ?kolaborasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Pertamina yang mengembangkan inovasi bahan bakar biofuel dari minyak sawit. "Kita wajib memberikan apresiasi kepada para semua pihak yang terlibat dalam menelurkan inovasi tersebut," ujarnya.
Adapun konsumsi bahan bakar dalam negeri mencapai 1.790.000 barrel per hari. Sementara itu, Pertamina-ITB saat ini telah berhasil memproduksi green diesel D100 dari 100% Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBDPO) yang di-cracking menggunakan katalis merah putih hasil pengembangan ITB dan Pertamina dengan kelapa sawit berkapasitas 1.000 barel per hari. Dengan demikian, dapat membantu kebutuhan bahan bakar fosil dalam negeri yang sangat tinggi.
"Bahan bakar minyak sawit merupakan komoditas sumber daya alam terbarukan di Indonesia yang jumlahnya berlimpah. Biofuel juga memberi peluang terhadap pemberdayaan petani sawit rakyat dalam industri bahan baku biohidrocarbon, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka," ujarnya.
Selain relatif lebih ramah lingkungan, penggunaan bahan bakar green diesel D100 pada kendaraan tidak akan menurunkan kinerja mesin atau menuntut dilakukan modifikasi tertentu pada mesin sebagaimana yang terjadi pada kendaraan yang menggunakan bahan bakar biodiesel B30 yang berbasis Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
Plt. Deputi Bidang Penguatan Inovasi Kemenristek/BRIN, Jumain Appe, menambahkan, terkait bahan bakar biofuel ini, pihaknya terus berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk dengan Brasil untuk berbagi ilmu bagaimana negeri Samba mengimplementasikan kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati berbasis tebu. Brasil akan menyajikan teknologi yang digunakan didalam memproduksi bahan bakar nabati.
"Kita belajar bagaimana cara Brasil membuat kebijakan penentuan harga tebu dan gula. Dengan demikian, Indonesia dapat tips membuat regulasi dalam penentuan harga sawit dan minyak sawit. Setelah industri bahan bakar nabati sudah stabil, Brasil pun bersedia membeli bahan bakar milik kita," katanya.
Komitmen Kemenristek/BRIN tercermin dari penandatangan kerja sama dengan kepala daerah Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel) dan daerah Pelalawan di Riau. Kerja sama tersebut dapat menjamin stabilitas harga kelapa sawit tidak melambung walaupun sedang dipersiapkan sebagai bahan bakar energi alternatif.
"Ada 26 provinsi yang di wilayahnya punya banyak lahan kebun kelapa sawit rakyat. Jika pembinaan di daerah Banyuasin dan Pelalawan sudah selesai, maka kami akan segera memulai kerja sama dengan provinsi lain," ujarnya.
Menurut Jumain, jika seluruh provinsi sudah memiliki industri pengelolaan minyak kelapa sawit, maka cita-cita Indonesia memiliki bahan bakar terbarukan akan segera terwujud.