Kemenpora mulai gaungkan penerapan sport science untuk meningkatkan performa atlet Indonesia. Tahap awal cabor prioritas yang akan disokong penuh penerapannya. Diharapkan bisa menjangkau atlet di daerah.
Memperingati Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2020, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Zainudin Amali, sudah bertekad untuk memaksimalkan peran sport science di dunia olahraga Tanah Air. Semua program latihan para atlet di Indonesia harus memiliki landasan sport science yang kuat. Hal itu, semata-mata demi meningkatkan prestasi olahraga nasional.
Penggunaan sport science ini menjadi begitu penting, agar prestasi bisa terukur dan direncanakan dengan baik. Ada lima hal manfaat penggunaan sport science. Pertama, mampu memprediksi dan membandingkan hasil dari tes yang dilakukan. Kedua, mampu memonitor hasil pelatihan yang telah dilakukan.
Kemudian ketiga, dapat digunakan sebagai penentu keputusan. Keempat, dapat dipakai untuk melakukan identifikasi bakat dana penentuan sasaran, dan terakhir, sebagai bahan untuk memberikan motivasi.
Karena hal tersebut, Zainudin Amali pun serius untuk melakukan perombakan besar dalam melakukan pembinaan olahraga dan juga prestasi. Sport science menjadi wacana utama yang kemudian diangkat dalam Haornas pada 9 September lalu.
"Kita ingin mendorong prestasi olahraga kita, kalau kita seperti sekarang tanpa didampingi sport science, tingkat prestasi kita akan begini-begini saja,” tuturnya seperti dilaporkan wartawan Gatra Muhammad Guruh Nuary.
Bagi Zainudin, sport science bisa menjadi jawaban untuk menunjang prestasi. Namun, ia pun mengakui bahwa penerapan sport science ini memang tidak murah. “Jadi dengan sumber daya yang kami miliki memang kami tidak mampu melakukan itu sendiri, oleh karena itu kita bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk perguruan tinggi," ia menambahkan.
Menurut Menpora, Indonesia memang masih lemah dalam menerapkan bidang sport scince ini. Padahal sudah berkembang di awal tahun 1980 dimana ketika itu Indonesia belum sama sekali menerapkan sport science di tiap cabang olahraga (cabor).
"Implementasinya di lapangan belum kelihatan, itu yang mau kita dorong lagi dalam momentum Haornas sekarang ini. Jadi tidak ada prestasi yang dihasilkan atau tidak ada prestasi yang maksimal tanpa pendampingan sport science," ungkap politisi Partai Golkar itu.
Penerapan sport science di Indonesia hingga saat ini juga belum merata dirasakan oleh seluruh cabor. Zainudin beralasan, Kemenpora mempunyai keterbatasan dana. Karena itu, untuk sekarang sport science bisa digunakan bagi cabor prioritas, di antaranya sepak bola yang akan menghadapi Piala Dunia U-21 dan beberapa gelaran lainnya.
"Tentu kita akan dorong di cabor-cabor, sekarang belum bisa karena sekian banyak cabor, kita prioritaskan, kemarin pelatih timnas sepak bola Shin Tae-yong beliau menyampaikan dia butuh peralatan-peralatan untuk mendampingi latihan anak-anak, sport science, itu kita siapkan," ujarnya.
Karena itu, orientasi Kemenpora dengan penerapan sport science sekarang ini adalah menanamkan fondasi yang kuat untuk suatu hasil jangka panjang yang bagus. “Sport science bisa kita memulai dari anak-anak yang 6 tahun, itu sudah harus [kita bina] kalau memang dia berpotensi menjadi atlet. Jadi sport science itu jangka panjang, bukan sulap simsalabim langsung jadi," Zainudin menjelaskan.
***
Soal Sport Science yang mulai dicanangkan Kemenpora, Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) mengakui bahwa sudah menerapkan hal itu sejak lama sebelum pemerintah mengimbaunya.
Direktur Pusat Pelatihan Nasional (Pelatnas) PB PASI, Mustara, mengatakan bahwa PB PASI sudah memiliki sport science di beberapa bidang. Di antaranya di bidang kesehatan, psikologi, pelatihan, dan juga gizi.
Kemudian, pendekatan-pendekatan di dalam setiap latihannya pun sudah menggunakan sport science. “Namun memang di dalam dukungan pemerintah belum maksimal, itu belum muncul program itu. Jadi sport science itu bukan barang baru tapi keseriusan penerapannya harus mendapatkan perhatian penuh (pemerintah) jangan separuh-separuh," tutur Mustara, yang juga menjabat sebagai Ketua Pengda PB PASI DKI Jakarta, kepada Gatra.
Menurutnya, penerapan sport science di PB PASI sudah lama dilakukan. Bahkan pihaknya terus melakukan pengawasan dan menjaga kualitasnya hingga saat ini. Mustara menuturkan, untuk saat ini, PASI sedang fokus agar atlet tidak jajan dan makan di luar. Supaya pendekatan gizi sport science bisa dilakukan secara kontinu.
Tak jauh berbeda dengan PB PASI, Kepala Bidang Pembinaan Prestasi PBSI Susy Susanti pun mengakui bahwa sport science sudah diterapkan PBSI delapan tahun lalu, dan implementasinya bekerja sama dengan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Baginya, penerapan sport science sangat penting terutama sebagai tolok ukur performa pemain.
Kendati demikian, Susy menilai bahwa sport science hanyalah alat bantu. Sedangkan olahraga adalah keahlian, yang feeling dan tekniknya harus dilatih sejak kecil.
Sementara itu, Sekjen PBSI, Achmad Budiharto, mengatakan bahwa selain urusan fisiologi, sport science yang diterapkan PBSI juga membantu dalam urusan psikologi pemain. "Psikolog untuk olahraga, bukan untuk orang sakit jiwa," katanya kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.
Ia membeberkan, persoalan sokongan nutrisi pun merupakan bagian dari sport science. Budi menuturkan, untuk memenuhi kebutuhan nutrisi para atlet PBSI sama sekali tidak murah. "Daging yang kami berikan ke para atlet itu sekelas daging wagyu. Daging kelas satu. Bukan sembarangan," katanya.
Hal-hal semacam itu, Budi melanjutkan, juga merupakan bagian dari implementasi sport science. Karena itulah, pada praktiknya para dokter ahli yang menangani, termasuk ahli-ahli nutrisi yang dipegang langsung oleh para dokter.
Selain itu juga ada analisis performa. Ini merupakan bidang sport science yang tidak hanya berkutat pada persoalan fisik belaka, melainkan juga bagaimana mengatur strategi dalam suatu pertandingan. "Kita punya rekaman-rekaman permainan, lalu kita analisis kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan kita dan lawan kita," kata Budi.
Budi menjelaskan, pemerintah memang tidak turun langsung dalam mengulurkan tangan terkait pengadaan sport science, tetapi tetap memberikan dukungan berupa anggaran pada gelaran multieven. Dari anggaran ini, PBSI akan menabung pelan-pelan untuk membeli fasilitas.
Namun, jika memang memungkinkan, paling tidak, Budi berharap bahwa sokongan pengadaan sport science sangat dibutuhkan, terutama yang berkaitan untuk menunjang kebugaran fisik bagi seluruh jenis olahraga di Indonesia. "PBSI baru punya dua alat. Dan alat-alat seperti itu yang perlu di-upgrade sehingga menunjang untuk peningkatan performa atlet," ujarnya.
***
Peneliti Biomekanika LIPI, Kadek Heri Sanjaya, mengatakan, sport science merupakan aplikasi sains tentang manusia, yang ditujukan untuk meningkatkan performa manusia. Karena sejatinya atlet sudah merupakan manusia yang performanya sudah di atas rata-rata.
“Bagaimana pengetahuan kita tentang manusia, entah fisiologinya, biomekanikanya. Sport science itu kita aplikasikan untuk meningkatkan performa dia," katanya kepada wartawan Gatra Ucha Julistian Mone.
Salah satu aplikasi sport science adalah melalui biomekanika. Dijelaskan Kadek, biomekanika sendiri sejatinya merupakan prinsip mekanika yang diterapkan ke manusia. Dalam biomekanika, tubuh atau performa manusia diibaratkan sebagai sebuah mesin, yang mana performanya masih bisa di naikkan dengan beberapa cara.
"Salah satunya, misal bagaimana kita dapat mengatur pusat masa dalam tubuh agar keseimbangan tubuhnya lebih bagus. Atau bagaimana menggerakkan masa tubuh agar bergerak lebih cepat,” ia menjelaskan.
Kadek mengakui, penerapan sport science memang sudah dilakukan di dalam negeri, namun belum banyak dan populer. Kebanyakan pengaplikasian masih baru sebatas di kalangan dunia pendidikan melalui keilmuan guru keolahragaan di kampus seperti Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Negeri Surabaya.
Sedangkan untuk aplikasinya di cabor, Kadek mengakui baru beberapa sektor olahraga yang menerapkan, apalagi terkait dengan atletik yang menerapkan. “Cuma, kalau mau lihat contoh paling sukses penerapan sport science itu ada di cabor pencak silat di Asian Games 2018 lalu. Output dari penerapan sport science ketika itu mereka sukses membuat pencak silat mendulang medali di Asian Games 2018,” ia menjelaskan.
Dirinya membayangkan, jika melihat dan mau mendatangkan alat dengan standar negara maju, alat ukur performa atlet saja itu bisa sekitar Rp1,5 miliar. "Namun, jika kalau kita mau buat sendiri itu modal 3,5 juta pun bisa, asal ada sinergi tadi dan semua tahu itu. Di Indonesia permasalahnya sinergi saja. Tidak perlu biaya mahal kita bisa buat instrumennya," ia memaparkan.
Sementara itu, Ketua KONI Daerah Istimewa Yogyakarta, Djoko Pekik Irianto, menyatakan sport science sebenarnya bukan barang baru. "Itu barang lama yang memang harus ada dalam sebuah pembinaan prestasi. Ibarat orang memasak, sport science bukan lagi bumbu tapi bahan baku,” ujar dia kepada Gatra, Senin lalu.
Menurutnya, sport science harus berada dalam semua jenjang pembinaan dari yang paling dasar sampai atlet di Jakarta. “Jangan disentralkan di Jakarta. Itu enggak akan jalan. Jakarta itu ibaratnya elite atlet. Mereka berasal dari daerah. Jadi justru masifkan sport science dari ujung hulunya,” kata dia.
Menurut Djoko, pembinaan prestasi itu semua pihak harus saling mengisi. Sayangnya, belum semua pelatih cabor menerapkan sport science secara benar. Untuk itu, perlu digalang jaringan dengan akademisi, terutama dari perguruan tinggi olahrga.
Ia menambahkan, sport science itu bukan suatu hal yang serba rumit dan canggih. Intinya berbasis data. Mengingat sport science multidisiplin, sejumlah ilmuwan perlu dilibatkan seperti pakar nutrisi, psikologi, anatomi, dan fisiologi.
Karena itu, kunci penerapan sport science ada pada sumber daya manusia dengan keahlian. “Saya coba terapkan hal tersebut di DIY dengan mengharuskan pengurus daerah memiliki akademisi olahraga yang akan mengembangkan sport science di cabang olahraga,” katanya.
Gandhi Achmad dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)