Home Hukum Penggunaan Agama di Politik Praktis, Picu Gesekan

Penggunaan Agama di Politik Praktis, Picu Gesekan

Sukoharjo, Gatra.com - Usai menjadi narasumber di acara silaturahmi ulama dan tokoh dalam rangka menguatkan kebangsaan dan Islam Rahmatan Lil 'Alamin di sebuah hotel di Sukoharjo, Senin, (7/9) Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sukoharjo KH Abdulah Faishol mengatakan, penggunaan agama sering kali digunakan untuk kepentingan politik praktis. 

Sehingga tak heran memasuki kampanye pilkada ini, mulai bermunculan isu politik identitas yang sarat kepentingan sesaat untuk saling menjatuhkan. 

"Yang perlu diwaspadai dalam pilkada adalah penggunaan agama untuk kepentingan politik. Ini kan sudah muncul, karena ada calon (kepala daerah) seorang perempuan. Sudah muncul istilah, perempuan haram jadi pemimpin," katanya.

Menurutnya, penggunaan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan politik merupakan suatu hal yang tidak baik bagi keberlangsungan hubungan antar masyarakat. Tidak sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

"Di dalam Islam sendiri, NU sebagai organisasi menyatakan boleh. Muhammadiyah, juga menyatakan boleh. Toh yang lain juga banyak kepala daerah, entah bupati atau gubernur perempuan. Namun isu ini sengaja dimunculkan lagi karena untuk menarik simpati," ucapnya.

Ia berharap kepada calon kepala daerah agar menekankan penyampaian program maupun visi, misi, bukan melempar isu soal agama. Agama dan negara harus menyatu dan saling bersinergi. Empat pilar kebangsaan harus diimplementasikan dalam kehidupan keagamaan.

"Tetapi kami percaya itu tidak akan mempengaruhi masyarakat. Untuk itu gesekan - gesekan yang terkait dengan theologis itu harus dihindari, jangan sampai terjadi perselisihan karena perbedaan. Harus saling menghargai," tegasnya.

Dalam acara yang digelar Amir Machmud Center dengan tujuan menguatkan kebangsaan dan Islam Rahmatan Lil 'Alamin ini, selain Abdullah Faisol juga menghadirkan Ustadz Abu Fida, mantan nara pidana teroris yang berbicara tentang bahaya ajaran radikal, khususnya bagi generasi muda.

Kepada sekira 100 peserta terdiri dari unsur mahasiswa, organisasi masyarakat dan organisasi keagamaan se-Solo Raya yang hadir dalam acara, mantan teroris yang pernah jadi langganan ditangkap Densus 88 ini menyampaikan telaah menolak segala bentuk aksi teror.

"Kami sudah rencanakan silaturahmi ini, sebagai wawasan tidak hanya pada agama tapi juga nilai kebangsaan. Salah satu tujuannya agar jangan sampai ada yang membenturkan antara agama dengan pemerintahan," ujar Direktur Amir Machmud Center, Amir Machmud.

Tidak hanya persoalan ajaran radikal dan sikap intoleran saja yang jadi bahasan, namun menurut Amir, pihaknya juga memantau munculnya politisasi agama dimasa pilkada seperti saat ini. Pantauan itu dilakukan melalui kajian kajian yang hasilnya akan disampaikan kepada pemerintah sebagai bahan masukan.

"Hal tersebut kami kaji juga apalagi musim pilkada yang kencang berhembus isu soal agama. Upaya kami adalah memberikan pencerahan melalui diskusi dan pertemuan intensif agar masyarakat cerdas menanggapi isu politik sesaat itu ," terangnya.

Ditambahkan, dengan diskusi yang juga dikuatkan dengan kehadiran narasumber yang mumpuni, diharapkan dapat mencegah merebaknya isu negatif agar tidak semakin luas tersebar. 

Sebab jika tidak dicegah maka bisa mengarah pada perilaku radikal dan intoleran.

"Radikalisme tidak fokus pada agama saja, tapi juga perilaku yang penuh ranah kekerasan kebencian pada negara yang endingnya merubah tatanan nilai. Maka khususnya untuk generasi milenial perlu diberi pemahaman tentang kebhinekaan, karena mereka juga termasuk tokoh yang nanti akan menjadi penentu arah bangsa," ujarnya.

636