Jakarta, Gatra.com – Lembaga The Center for Asian Philanthropy and Society (CAPS) merilis survei kedua Doing Good Index (DGI2020) atau Indeks Berbuat Baik yang mengungkapkan peran vital dari sektor sosial, dan bagaimana kontribusi negara Asia untuk membantu sektor tersebut. Studi yang dilakukan bekerja sama dengan CCPHI itu mengidentifikasi peluang pemerintah Indonesia agar dapat berbuat banyak untuk masyarakat, serta bagaimana donasi yang dilakukan oleh swasta/perusahaan untuk memenuhi kebutuhan banyak kalangan.
CEO CAPS, Dr. Ruth Shapiro mengatakan Asia memiliki sepertiga dari kekayaan dunia, tetapi dua pertiganya termasuk dalam kategori negara miskin dunia. “Sekarang ada kesempatan unik untuk menggunakan kekayaan yang ada untuk mengentaskan kemiskinan, melindungi lingkungan dan mempromosikan ketahanan masyarakat. DGI2020 memperjelas bahwa pemerintah, donor, dan sektor sosial harus bekerja sama, lebih dari sebelumnya,” ujar Ruth dalam acara webinar Diseminasi Hasil Survei Doing Good Index 2020 pada Senin (7/9).
Dirinya mengingatkan penting untuk membangun Asia yang kuat, adil dan sejahtera guna mengatasi krisis ekonomi terkait pandemi Covid-19. Dalam konteks tersebut sektor sosial yang didukung oleh pendanaan dari bisnis dan individu menjadi lebih penting dalam penyediaan layanan sosial yang vital.
“Saat dunia berjuang untuk mengatasi pandemi yang sedang berlangsung, satu hal menjadi jelas bahwa kita tidak bisa kembali ke keadaan semula. Dihadapkan dengan ekonomi yang stagnan atau semakin menurun, pemerintah di Asia merasa sulit untuk mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat dari rakyatnya,” katanya.
Pada masa terjadinya wabah Covid-19, donasi amal berfokus merespons komunitas lokal. Dengan dukungan internasional yang menurun maka filantropi “Asia untuk Asia” harus mengisi kekosongan tersebut. Jika penduduk Asia menyumbangkan setara 2% dari produk domestik brutonya, maka diperkirakan terkumpul sebesar US$ 587 miliar setiap tahunnya.
Jumlah tersebut 12 kali lipat dari jumlah bantuan bersih luar negeri yang mengalir ke Asia, dan hampir 40% dari tambahan US$ 1,5 triliun yang dibutuhkan Asia Pasifik setiap tahunnya guna memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan PBB pada 2030.
Direktur Eksekutif CCPHI, Sonny Sukada menerangkan pandemi global telah mempercepat penurunan jumlah pendanaan luar negeri yang membuat kebutuhan untuk filantropi domestik makin meningkat dari sebelumnya.
“Selain mencari dukungan yang lebih besar dari pemerintah dan korporasi, metode kreatif penggalangan dana domestik menjadi lebih penting untuk menjembatani kesenjangan tersebut. Sebanyak 32% organisasi sektor sosial mengandalkan crowdfunding di Indonesia, dan lebih dari 80% berencana untuk menggunakannya di masa mendatang,” kata Sonny.
Hamid Abidin dari Filantropi Indonesia mengatakan bahwa Indonesia akan mampu menjadi negara dengan Indeks Berbuat Baik yang tinggi bila didukung dengan kebijakan dan insentif seimbang yang dapat mendorong modal swasta ke sektor sosial. Dengan itu pemerintah dapat meningkatkan efektivitas dan mengatasi defisit kepercayaan yang dihadapi oleh organisasi sektor sosial.
Indonesia menurutnya akan menjadi negara yang lebih baik bila didukung oleh regulasi yang baik serta insentif yang besar dari pemerintah. Insentif tersebut mempertimbangkan insentif untuk donor dan insentif untuk penerima. “Ada beberapa persoalan yang dihadapi yakni ruang lingkup insentif pajak masih terbatas dan diskriminatif. Selain itu nilai insentif pajak terlalu kecil sedangkan regulasi dan kebijakan terlalu umum dan multitafsir,” katanya.
Untuk diketahui, DGI2020 merupakan studi dalam konteks dimana modal swasta memenuhi kebutuhan masyarakat. Studi tersebut memberikan peta jalan untuk kebijakan dan praktik yang akan meningkatkan amal dan mendorong sektor sosial untuk semakin berkembang dan efektif.
Indeks tersebut membantu para filantropis, pembuat kebijakan, peneliti, organisasi non pemerintah (NGO) dan warga negara yang terlibat untuk memahami apa saja yang dapat meningkatkan pemberian filantropi di negara mereka. Studi juga menyoroti peningkatan akuntabilitas dan transparansi untuk mengatasi defisit kepercayaan yang dihadapi oleh sektor sosial yang dapat membuat calon donor untuk mundur.
DGI2020 mengidentifikasi enam tren umum di seluruh Asia:
1. Keterlibatan pemerintah itu penting. Di Asia, institusi lebih memilih untuk bekerja erat dengan pemerintah, sehingga kebijakan publik yang terkait dengan sektor sosial tidak hanya memiliki efek langsung, tetapi juga efek penanda yang memperkuat dampaknya.
• Pemerintah di seluruh Asia mengupayakan peningkatan filantropi dan CSR lokal.
• Lebih dari separuh ekonomi di Asia menyaksikan penurunan pendanaan asing. Di enam negara dan wilayah yang memberlakukan pembatasan pada pendanaan luar negeri, banyak NGO yang melaporkan penurunan pendanaan hingga 20% atau lebih.
• 45% NGO di seluruh Asia menerima dana dari sumber asing, yang merupakan sekitar 25% dari anggaran mereka.
• Saat ini, 66% dari NGO Indonesia yang disurvei menerima dana asing, yang merupakan 37% dari anggaran mereka. Dengan klasifikasi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas, pendanaan asing semakin banyak dialihkan ke negara berpendapatan rendah.
• Hanya 19% dari NGO yang disurvei di Indonesia menerima hibah dari pemerintah.
• Hibah pemerintah mencapai sekitar 3% dari rata-rata anggaran NGO Indonesia.
2. Pengawasan regulasi sektor sosial meningkat, dengan hasil yang beragam
• Lebih dari setengah (56%) ekonomi Asia telah meningkatkan pengawasan pemerintah terhadap sektor tersebut.
• Indonesia memiliki salah satu proses pendaftaran tercepat untuk lembaga nirlaba. Pendaftaran dapat memakan waktu paling sedikit 20 hari, dibandingkan dengan rata-rata 94 hari di Asia.
• 35% dari NGO di Indonesia merasa bahwa undang-undang yang berkaitan dengan sektor sosial sulit untuk dipahami.
• 61% NGO di Indonesia percaya bahwa pemerintah jarang menegakkan undang-undang dan peraturan, dan 72% percaya bahwa NGO lainnya mungkin mencoba untuk tidak mematuhi peraturan pemerintah.
3. Kebijakan pajak dan fiskal adalah insentif utama untuk pemberian amal, tetapi ketidakjelasan yang membingungkan seringkali menghambat sumbangan.
• Satu dari empat NGO di seluruh Asia tidak menyadari bahwa ada pengurangan pajak untuk sumbangan amal.
• Pakar negara di 14 dari 18 negara, termasuk Indonesia, mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi kebijakan pajak yang relevan secara akurat.
• Insentif untuk pemberian amal yang diberikan setelah kematian seseorang dalam bentuk warisan masih terbilang kurang, dengan hanya 6 dari 18 negara yang disurvei yang memiliki pengaturan untuk pajak warisan.
• NGO Indonesia dikenakan pajak penghasilan yang sama dengan perusahaan biasa, dengan sedikit pengecualian terkait beasiswa atau sumbangan keagamaan.
4. Pengadaan oleh pemerintah dapat menjadi sumber pertumbuhan yang penting untuk sektor sosial, tetapi sebagian besar negara berkinerja buruk di bidang ini.
• 23% dari NGO yang disurvei di Indonesia memiliki kontrak pengadaan dengan pemerintah, sedikit di bawah rata-rata Asia sebesar 26%.
• Di seluruh Asia, 61% NGO dengan kontrak pemerintah merasa relatif sulit untuk mengakses informasi pengadaan.
• Sebagian besar NGO merasa bahwa proses pengadaan kurang transparan.
• Pemerintah semakin sering berkonsultasi dengan NGO tentang masalah kebijakan.
• 75% organisasi yang disurvei melaporkan terlibat dalam konsultasi kebijakan, naik dari setengahnya dari 2018.
• Di Indonesia, hampir 90% NGO melaporkan berpartisipasi sesekali atau reguler dalam konsultasi kebijakan.
• Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan kemitraan publik-swasta memainkan peran yang berkembang di Asia.
• 11 dari 18 negara mengatakan CSR dan kemitraan publik-swasta mendapat lebih banyak perhatian.
• 86% dari NGO Asia yang disurvei bekerja dengan sektor korporasi dalam kapasitas tertentu.
• Sejak tahun 2007, perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam (yaitu minyak dan gas, pertambangan) di Indonesia diwajibkan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun, tidak ada mekanisme penegakan hukum untuk memulihkan dana ini.