Pekanbaru, Gatra.com - Siapapun yang menengok status whatsapp Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIX Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sofyan, itu pasti akan melontarkan tanggapan beragam.
Sofyan menulis status yang dilengkapi tiga foto itu begini; Rapat Pelaksaan Invert Penyelesaian Persoalan Tanah di Kawasan Hutan (PPTKH) Provinsi Riau.
Bagi masyarakat Riau yang selama ini bermasalah dengan klaim Kawasan Hutan, status Sofyan tadi bisa jadi umpama oase di gurun pasir.
Sebab dengan menggelindingnya informasi rapat invert PPTKH itu, menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk bisa segera keluar dari persoalan klaim Kawasan Hutan itu.
Maklum, di Riau sendiri, ada ratusan ribu masyarakat yang terjebak dalam klaim kawasan hutan, bahkan sudah turun temurun.
Mulai dari klaim kawasan Hutan Lindung, Suaka Marga Satwa, Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP), hingga Hutan Produksi Konversi (HPK).
Di kawasan Kampar Kiri Hulu misalnya. Sudah turun temurun masyarakat di sejumlah desa di sana, sampai sekarang terjebak dalam kawasan Suaka Marga Satwa Bukit Rimbang Bukit Baling (SM-BRBB);
Gara-gara klaim kawasan hutan ini, banyak masyarakat kesandung persoalan hukum, dan yang paling celaka, pekebun kelapa sawit yang kebunnya diklaim dalam kawasan hutan, terancam tidak laku.
Dan bagi mereka yang pohon kelapa sawitnya sudah harus replanting, tak bisa kebagian duit hibah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dari Badan Pengelolah Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Tapi bagi mereka yang mengerti tentang apa itu Kawasan Hutan, invert PPTKH Provinsi Riau tadi justru menjadi tanda tanya besar.
Sebab selama ini, status Kawasan Hutan di Riau tidak jelas. "Beberapa kali saya menjadi saksi ahli di Pengadilan, saya mengatakan, selagi belum ada pengukuhan, enggak ada Kawasan Hutan di Riau," ujar Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan di Jakarta, DR. Sadino, SH.,MH kepada Gatra.com, Jumat (4/9).
Pengukuhan Kawasan Hutan itu kata Dosen Pasca Sarjana Universitas Al-Azhar Indonesia ini merujuk pada pasal 14 Undang-Undang 41 Tahun 1999; Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum Kawasan Hutan.
"Dan pengukuhan kawasan hutan itukan ada tahapannya; penunjukan, penataan batas, pemetaan dan terakhir penetapan," rinci Sadino.
Urusan pengukuhan kawasan ini kata Sadino, tidak hanya bermasalah pada kawasan hutan yang dikelola langsung oleh Negara, tapi juga kawasan hutan yang dikelola oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) maupun Restorasi Ekosistem.
"Enggak ada sama sekali pengukuhan. Yang ada, setelah perusahaan mendapat SK penunjukan, perusahaan langsung klaim. Itulah makanya, tak heran jika konflik antara masyarakat dan korporasi, ada dimana-mana. Kalau dilakukan pengukuhan, konflik enggak akan pernah ada. Sebab sebetulnya, Negara sangat menghargai hak-hak masyarakat," urai Sadino.
Dalam setiap SK penunjukan, baik untuk penyelenggara Negara maupun korporasi kata Sadino, selalu ada amar yang menyebut; apabila ditemukan hak-hak masyarakat berupa perladangan, tegalan, enclave (keluarkan).
"Bahasa sederhananya, jangan diambil. Tapi itu enggak dilakukan. Padahal penataan batas sebagai satu dari empat tahapan pengukuhan kawasan itu, gunanya untuk memisahkan antara hak negara/korporasi dan masyarakat. Kalau hak itu sudah dipisah, barulah ditetapkan. Ini ditandai dengan Berita Acara Tata Batas (BATB) nya," kata Sadino.
Sayang, Sofyan lebih memilih memblokir pertemanan di whatsapp ketimbang membalas sederet pertanyaan Gatra.com, terkait Kawasan Hutan tadi.
Kepala Biro Humas KLHK, Nunu Anugerah, justru hanya menjawab singkat. "Mesti dengan Ditjen Planologi Kehutanan dan tata Lingkungan (PKTL), Mas, atau Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Pengukuhan ada di Ditjen PKTL," katanya melalui pesan whatsapp kepada Gatra.com, Jumat (4/9).
Abdul Aziz