Jakarta, Gatra.com - Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji, menilai pengusutan kasus dugaan korupsi oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari belum menemui kendala, sehingga Kejaksaan Agung (Kejagung) mampu merampungkannya.
Indriyanto kepada wartawan pada Kamis (3/9), menyampaikan, karena tidak ada hambatan maupun kendala teknis hukum projustitia penanganan kasus di Kejaksaan, maka baiknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan memandang perlu penanganan dilakukan oleh lembaga awal yang tangani kasus ini.
Penanganan kasus korupsi terkait pengurusan fatwa kepada Mahakamah Agung (MA) agar Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) tidak bisa dieksekusi ke penjara tersebut masih berjalan baik dan terintegrasi dengan Polri yang menangani kasus berbeda soal suap Djoker.
"Dalam hal tidak ada kendala dan hambatan atas teknis penanganan kasus ini, maka tidak perlu KPK tangani kasus Pinangki ini," ujarnya.
Menurutnya, Kejagung memiliki sumber daya manusia, baik pada tingkat penyidikan maupun penuntutan yang menguasai setiap perkara. Tingkat kapabilitas para jaksa juga baik dan tidak diragukan.
"Transparancy judicial court nanti lah yang akan menentukan public trust terhadap kelembagaan penegak hukum, dan tanpa kendala demikian, tentunya Kejaksaan memiliki trust ini," katanya.
Lebih lanjut, Indriyanto memandang saran Komisi Kejaksaan terkait penanganan kasus Pinangki agar diserahkan kepada KPK terlalu berlebihan, sehingga terkesan adanya politisasi hukum oleh Komjak. Menurutnya, masalah teknis projustitia yang sedang berjalan ini tidak menimbulkan Obstruction ex Facie yang merugikan lembaga penegak hukum.
"Sebaiknya Komjak tetap berpijak pada masalah area etik dan disiplin Jaksa yang alurnya ada pada MOU tahun 2011, sehingga tidak dalam konteks terkesan berada dalam area projustitia Kejaksaan," katanya.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 3 orang tersangka. Partama, oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari karena diduga menerima hadiah atau janji (gratifikasi) untuk memuluskan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) terpidana Djoko S. Tjandra dalam perkara korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Pinangki diduga menerima uang suap sejumlah US$500.000 atau setara Rp7,4 miliar. Yang bersangkutan disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah itu, Kejagung menetapkan Djoko Soegiarto Tjandra (Djoker) karena diduga menyuap Pinangki terkait pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA). Djoker pun disangka melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b dan Pasal 13 UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001.
Ketiga, yakni tersangka Andi Irfan Jaya dari pihak swasta berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-53/F.2/Fd.2/09/2020 tanggal 2 September 2020 dan Surat Perintah Penetapan Tersangka Nomor : TAP-58/F.2/Fd.2/09/2020 tanggal 2 September 2020.
Kejagung menyangka Andi Irfan Jaya melanggar Pasal 5 Ayat (2) jo Ayat (1) huruf b atau Pasal 6 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 15 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.