Jakarta, Gatra.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menilai ada penyangkalan terhadap berbagai kasus peretasan yang terjadi terhadap aktivis, media, dan akademisi.
Asfinawati dalam diskusi virtual gelaran ILUNI UI pada Rabu (2/9), mengatakan, permasalahan berkembang bukan lagi di level hilangnya penegakan hukum, tapi ada usaha membuat kasus peretasan seolah-olah tidak terjadi. Penyangkalan kasus tersebut ditopang oleh para buzzer dan nonbuzzer.
"Bahwa peretasan ini tidak terjadi dan cuma ada kesalahan teknologi. Kalau enggak, ada pengecilan peristiwa bahwa ini kesalahan pemilik akun, teknologi, dan lain-lain," ujarnya.
YLBHI juga menemukan ada diskriminasi hukum yang menimpa kasus peretasan berbagai aktivis dan media. Asfinawati menyoroti kasus Ravio Patra yang hingga 4 bulan sejak melapor, belum juga ada tersangka. Sementara kasus peretasan website Polri hingga empat bulan sudah ditemukan tersangka dan sudah disidangkan.
"Ada LBH Bandung melapor ke polisi, sampai sekarang kasusnya belum maju. Tempo mengalami peretasan, tapi Deny Siregar kena kasus doxing satu hari kemudian sudah diproses kasusnya. Di dalam HAM, ini pelanggaran by omission atau pengabaian," ujarnya.
Dia pun mengkritisi penggunaan buzzer yang ditopang mesin atau bot. "Kalau demokrasi adalah suara rakyat, bot bukan orang. Maka, dia tidak bisa jadi suara rakyat, kecuali kita mau bikin demokrasi robotik," tukas aktivis tersebut.
Penggunaan bot dianggap menghilangkan suara rakyat. Artinya, tidak ada dialog antara negara dan rakyat karena suara rakyat sudah tenggelam.
Asfinawati juga memberikan rekomendasi agar DPR berperan sebagai check and balances pemerintah dalam hal menjaga demokrasi. Selain itu, dia juga meminta adanya keterbukaan informasi kepada publik setidaknya 6 bulan sekali, termasuk terkait anggaran.
"Dalam undang-undang keterbukaan informasi publik disebutkan anggaran harus dipublikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami publik," katanya.