Jakarta, Gatra.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa terlibat dalam penanganan kasus suap Djoko Tjandra (Djoker) yang menyeret jenderal di kepolisian, Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Pol Prasetijo Utama, serta Jaksa Pinangki Sirna Malasari. KPK, lanjut Mahfud, bisa memberikan pandangan hingga ekspose kasus tersebut.
Pernyataan Mahfud itu disampaikan saat memanggil Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Ali Mukartono, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pamolango dan Dirjen PP Kemenkumham Prof. Widodo Ekatjahjana dalam rapat terbatas di kantornya hari ini, Rabu (2/9).
Mahfud berujar, sejauh ini Polri sudah kooperatif dengan melibatkan KPK dalam proses gelar perkara buronan hak tagih (cessie) Bank Bali itu. Namun, beda dengan Kejaksaan Agung.
“Nah, di Kejaksaan Agung juga sudah diberitahu bahwa dia terbuka dalam rangka supervisi, KPK bisa diundang untuk hadir ikut menilai di dalam sebuah ekspose perkara yang sedang ditangani. Di situ nanti KPK bisa menyatakan pandangannya. Apakah ini sudah oke proporsional atau harus diambil alih, kan nanti KPK sendiri bisa ikut di situ,” ujar Mahfud di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (2/9).
Mahfud menjelaskan, KPK sebenarnya berwenang mengambil alih kasus tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Polri. Syarat pengambilalihan oleh KPK dari kedua institusi penegak hukum itu dalam rangka supervisi. Perpindahan itu juga harus memenuhi syarat tertentu.
Kewenangan itu merupakan fungsi supervisi dari KPK yang akan dituangkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Perpres ini pun akan segera disampakan oleh Presiden Joko Widodo untuk diundangkan.
“Tadi ada kesepakatan atau kesamaan pandangan, tentang implementasi supervisi yang menyangkut pengambilalihan perkara pidana yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan oleh Polri. Perkara pidana khusus korupsi yang bisa diambil alih oleh KPK, jadi menurut undang-undang nomor 19 tahun 2019, KPK itu berwenang mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Kapolri dalam rangka supervisi,” beber Mahfud.
Mahfud menambahkan, syarat-syarat tersebut sudah ada dalam undang-undang tersendiri. Pengambilalihan bisa dilakukan ketika ada laporan mayarakat yang tidak ditindaklanjuti, ada tumpang tindih penanganan antara pelaku korupsi maupun yang diperiksa, dan perkara yang berlarut-larut.
“Itu sudah ada di undang-undang dan disepakati menjadi bagian dari supervisi yang bisa diambil alih oleh KPK dari Kejaksaan Agung maupun dari Polri,” tutup Mahfud MD.