Puluhan ribu pelajar dan mahasiswa turun ke jalan selama sebulan untuk menuntut demokrasi yang lebih baik di Thailand. Tak hanya menyerukan reformasi konstitusi, mereka juga mendorong ekstraksi kekuasaan monarki. Diwarnai simbol-simbol budaya pop, mulai dari Hunger Games hingga Hamtaro.
Sudah menjadi kebiasaan setiap pagi ketika lagu kebangsaan berkumandang di sekolah-sekolah Thailand, para siswa diminta untuk berdiri tegak dengan sikap hormat saat bendera negara dikibarkan. Namun, pada pertengahan Agustus lalu, ada yang berbeda.
Sejumlah murid berdiri tegak seperti biasa. Alih-alih memberi hormat, mereka mengangkat tiga jari ke udara. Ini serupa dengan gestur warga Panem, penentang kediktatoran Capitol di film "The Hunger Games". Kelompok siswa lainnya tampak berkumpul di halaman sekolah sambil memegang lembaran kertas kosong. Ini bermakna harapan akan satu keadaan baru yang bersih dan transparan.
Pengacungan tiga jari tengah itu serupa dengan ekspresi yang digunakan secara luas oleh gerakan pro demokrasi Thailand yang sedang berkembang. Situs berita dari Inggris, Guardian, melaporkan bahwa selama lebih dari sebulan, demonstrasi yang dipimpin oleh mahasiswa hampir terjadi setiap hari. Aksi tersebut segera menyebar ke seluruh negeri. Pada hari Minggu lalu, malah ada demonstrasi di Bangkok yang dihadiri lebih dari 10.000 orang.
Para pengamat heran dengan betapa cepatnya protes menyebar, bagaimana kaum muda menantang hierarki tradisional, dan keberanian tuntutan mereka. Beberapa di antaranya, terkait dengan keluarga kerajaan yang berkuasa.
"Semua masyarakat Thailand sangat terkejut dengan apa yang terjadi saat ini. Kami belum pernah melihat fenomena seperti ini," kata Dosen Fakultas Ilmu Politik Universitas Chulalongkorn, Kanokrat Lertchoosakul.
Mahasiwa tentu saja terlibat aktif dalam demonstrasi itu. Selain mereka, anak-anak berusia 13 atau 14 tahun mengorganisasi flash mob. Gerakan protes tidak terorganisasi secara terpusat. Sebaliknya, berbagai kelompok telah menggunakan media sosial untuk mengoordinasikan aksi demonstrasi di seluruh negeri. Aksi ini didorong oleh kemarahan kepada pemerintah yang didukung militer, yang mereka tuduh mengikis demokrasi dan menahan kemajuan Thailand.
Para demonstran menyerukan Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-ocha, yang menjabat usai kudeta 2014, untuk membubarkan parlemen. Sang PM diminta mengakhiri pelecehan terhadap aktivis. Terkait konstitusi, mereka minta agar aturan itu direformasi, sebab dinilai terlalu pro militer dan memperkuat kekuatan tentara.
Seperti diketahui, PM Prayuth adalah seorang jenderal. Sebelum menjadi perdana menteri, ia merupakan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Thailand. Ia menjabat sejak 22 Mei 2014 atau tepat 15 hari setelah PM Yingluck Shinawatra mundur dari posisinya akibat kudeta militer. Sebelumnya pada 2006, kakak laki-laki dari PM Thaksin Shinawatra juga terpaksa mundur karena kudeta militer.
Tak hanya menentang pemimpin pemerintahan, kelompok pro demokrasi juga menyerukan perubahan untuk mengekang kekuasaan monarki. Jenis tuntutan yang tampaknya tak pernah terpikirkan akan muncul ke permukaan.
Tuntutan semacam itu tentu saja membawa risiko besar. Thailand memiliki yang namanya hukum Lese Majeste. BBC menulis, Lese Majeste merupakan pasal yang melindungi anggota senior keluarga kerajaan dari hinaan atau ancaman.
Ketika aturan pidana dikeluarkan pada 1908, aturan ini sudah ada. Sanksinya makin diperkuat pada 1976 silam. Begitu pula saat konstitusi Thailand diamendemen pada 2017, pasal ini makin memperkokoh kekuasaan raja.
Mengingat tidak adanya definisi jelas soal indikator penghinaan terhadap kerajaan, maka aturan ini menjadi pasal karet. Selama ini, orang bisa didera hukuman penjara puluhan tahun karena mencoret poster raja, mengunggah foto-foto anjing kesayangan raja, atau sekadar memencet tombol like di Facebook. Selama jaksa menilai perbuatan-perbuatan itu menghujat atau menyinggung kerajaan, maka kurungan sel siap menanti pelaku.
Terkait demonstrasi saat ini, memang Raja tidak menyampaikan tuntutan resmi. Namun setidaknya 10 demonstran pro demokrasi telah ditangkap atas tuduhan lain termasuk hasutan, yang terancam hukuman hingga tujuh tahun penjara.
Kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand mengatakan, telah menemukan 103 kasus siswa dilecehkan atau dicegah untuk mengekspresikan pandangan politik mereka, termasuk dengan memberi hormat tiga jari, mengenakan pita putih, atau memegang selembar kertas kosong. Pekan lalu, badan dunia yang mengurusi masalah anak-anak, UNICEF, merilis pernyataan berisi seruan agar hak anak-anak dan remaja atas kebebasan berekspresi ditegakkan.
***
Menteri Pendidikan Thailand, Nataphol Teepsuwan, mengatakan bahwa siswa memiliki hak untuk mengungkapkan pandangan mereka. Namun, Kanokrat yang telah mewawancarai lusinan demonstran muda, mengatakan bahwa meskipun hak siswa untuk menyuarakan pendapat politik dilindungi dalam konstitusi, sebagian besar sekolah berusaha menghentikan segala bentuk protes. "Kenyataannya, dalam masyarakat yang sangat konservatif dan moralis seperti Thailand, kendali di dalam sekolah berada di tangan masing-masing guru," ujarnya.
Pada rapat umum di luar gedung Kementerian Pendidikan pada Rabu pekan lalu, para siswa menyoraki Nataphol. Ia duduk dengan para juru kampanye untuk membahas keprihatinan mereka. "Pemerintah selalu bersedia dan siap untuk mendengarkan semua warganya," ia berjanji.
Seorang siswa kelas 11 di antara mereka yang melakukan protes di sekolah dan meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa anak muda menginginkan kebebasan berekspresi. "Kami menginginkan demokrasi sejati di mana Anda dapat berbicara sesuka Anda tanpa ditangkap," katanya.
Ia memantau gerakan protes lewat Twitter dan memutuskan ambil bagian bersama teman-temannya. "Awalnya ketika saya memikirkannya, saya takut. Namun karena lebih banyak orang [ambil bagian], setelah itu, saya merasa ingin bertarung," katanya.
Kanokrat mengatakan, media sosial adalah salah satu faktor yang membuat pelajar makin berani melakukan protes. Secara daring, mereka telah menemukan komunitas orang-orang dengan pendapat serupa yang akan bersatu mendukung satu sama lain. "Saya mewawancarai seorang mahasiswa kedokteran dan mereka berkata mereka harus bekerja sangat keras untuk belajar. Namun pada malam hari mereka harus bekerja keras mempromosikan tagar demonstrasi tersebut," katanya.
Para demonstran menggunakan segala media sosial, mulai dari Tinder hingga TikTok untuk menyebarkan pesan mereka. Sering kali mereka menggunakan simbol dan sindiran.
Baik di internet maupun di jalanan, mereka membagikan poster aktivis hilang yang diberi warna kuning mencolok. Para siswa menggunakan referensi budaya populer, mulai dari Harry Potter hingga Hamtaro, karakter hamster pada kartun Jepang. Di tempat umum, anak muda menyanyikan jingle Hamtaro versi adaptasi sambil berlari berputar-putar, seolah-olah di roda hamster. Saat mereka berlari, mereka bernyanyi: "Makanan yang paling enak adalah uang pembayar pajak."
Ada tradisi panjang demonstran Thailand kerap menggunakan simbolisme. "Ini terjadi ketika Anda tumbuh dalam kediktatoran atau rezim yang sangat represif. Anak muda saat ini, menghasilkan referensi dan sindiran yang sangat mudah dibagikan dan cocok dengan media sosial," kata Dosen di Universitas Sydney, Dr. Aim Sinpeng.
Makin berani, demonstran malah menyerukan agar kekuatan Raja Maha Vajiralongkorn diekstraksi. PM Prayuth telah mengatakan kepada demonstran untuk tidak melibatkan monarki. Di sisi lain, ia berjanji akan mempertimbangkan kekhawatiran demonstran tentang konstitusi. Pernyataan PM itu mengundang tanda tanya baru. Jika pemerintah berjanji mendengarkan tuntutan, mengapa malah banyak aktivis damai ditangkap.
"Pemerintah mencoba mengulur waktu dengan menangkap aktivis satu per satu. Mereka mengira protes akan bubar, tetapi mereka salah," ujar Sekretaris Jenderal kelompok protes Gerakan Rakyat Merdeka, Tattep Ruangprapaikitseree. Polisi menangkap para pemimpin demonstrasi, yakni Tattep dan mitranya Panumas Singprom.
Tattep terlihat mengacungkan tiga jari ketika tiba di kantor polisi. Belakangan, pengacara menyebut bahwa meski keduanya membantah tuduhan, mereka dibebaskan dengan uang jaminan. Keduanya termasuk di antara 15 orang yang didakwa dalam demonstrasi 18 Juli, karena melanggar Undang-undang Keamanan Internal dan menentang keputusan darurat, yang melarang pertemuan publik untuk mencegah penyebaran virus Corona.
Dilansir Reuters, demonstran lain telah berjanji melanjutkan demonstrasi yang direncanakan pada 19 September mendatang. Bersamaan dengan peringatan kudeta militer 2006.
Flora Libra Yanti