Pekanbaru, Gatra.com - Tadinya webinar bertajuk Kemitraan Sinergis dan Penguatan Kelembagaan Demi Rantai Pasok Sawit Yang Efisien pada Jumat pekan lalu itu sudah akan rampung.
Maklum, batas waktu webinar bikinan Majalah Sawit Indonesia itu, disepakati tuntas pada pukul 17:00 WIB.
Tapi gawe yang dipandu oleh mantan Rektor Sekolah Tinggi Ilmu Perkebunan (STIPER) Yogyakarta, DR Purwadi, itu menjadi molor setelah sesi bertanya merembet pada Biaya Operasional Tidak Langsung (BOTL), satu dari sederet item potongan yang ditanggung oleh Pekebun kelapa sawit pada perhitungan indeks K.
Indeks K sendiri menjadi penentu pada setiap penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) milik Pekebun.
Baca juga: Aroma Akal Bulus Penetapan Harga TBS Riau
"BOTL itu kan kesepakatan antara Pekebun dengan pabrik. Kami tidak ikut mengurusi itu," kata Normansyah H. Syahruddin, Kepala Subdirektorat Pemasaran Hasil Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan.
Lelaki ini berkilah setelah jawabannya dibantah. Bahwa BOTL yang diamanahkan dalam Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Pekebun itu, bukan ranahnya. "Iya kami enggak ikut campur soal itu. Itu urusan daerah," ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono yang juga menjadi sasaran pertanyaan seputar BOTL itu justru memilih diam walau masih ada dalam webinar tadi.
Meski beberapa kali DR. Purwadi meminta Joko untuk menjawab, Vise President Director Astra Agro Lestari ini tetap bergeming.
Gubernur Riau, Syamsuar dan Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Riau, Zulfadli, sama saja. Tak menggubris pertanyaan yang diajukan Gatra.com, melalui pesan whatsapp.
Sumber Gatra.com di Disbun Riau menyebut, Disbun Riau tidak pernah mengelolah duit BOTL itu, termasuk duit yang satu persen untuk jatah pembinaan Pekebun dan lembaga pekebun.
"Bendahara yang ditunjuk yang meminta duit itu langsung ke perusahaan anggota. Sementara kami hanya menerima duit honor bulanan. Selebihnya, perusahaan anggota tim yang mengelola duit itu meski pengeluarannya atas sepengetahuan kami," katanya kepada Gatra.com, kemarin.
Sumber lain menyebut pula, setiap tahun tim kebagian jalan-jalan berbungkus studi banding, ada juga beli baju seragam. "Tapi kalau untuk pembinaan pekebun, belum ada, belum berjalan. Yang pasti, semua pengeluaran transparan, kok," katanya.
Kisruh soal BOTL ini tidak hanya terjadi di Riau, tapi juga di Sumatera Barat (Sumbar). Kepada Gatra.com kemarin, Wakil Sekretaris DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumbar, Wily Nofranita, cerita bahwa pada rapat penetapan harga TBS Sumbar 25 Agustus 2020, pihaknya sudah meminta kepada perusahaan anggota tim penetapan harga, menyerahkan bukti-bukti pengeluaran dana BOTL itu.
"Bukti pengeluaran itu sesuai perintah yang tertera di Permantan nomor 1 tahun 2018. Pada sosialisasi yang digelar Dirjenbun juga begitu aturannya. Tapi perusahaan enggak mau memberikan. Alasannya itu rahasia perusahaan. Kami enggak maulah dibegitukan," ujarnya.
Alhasil kata Wily, pada rapat itu Disbun Sumbar menyodorkan dua opsi; perusahaan menyiapkan dokumen pendukung bukti penggunaan duit atau laporan manajemen bulanan.
"Laporan bulanan manajemen itu nanti akan dibawa oleh perusahaan pada rapat penetapan harga 01-15 September 2020. Kebetulan di Sumbar, rapat penetapan harga dua kali sebulan. Kalau laporan bulanan itu enggak ada, kami akan meminta BOTL untuk periode 01-15 September 2020 dibikin nol. Yang sedang berjalan, kita terima saja dulu," katanya.
Sebulan belakangan, Penetapan harga TBS Kelapa Sawit Pekebun menjadi sorotan. Ini setelah berkas penetapan harga TBS pada Dinas Perkebunan Provinsi Riau periode 12-18 Agustus 2020 itu dipelototi banyak orang.
Bahwa sebetulnya, harga TBS pekebun --- petani plasma dan swadaya --- dipastikan sangat moncer kalau saja potongan-potongan tak lazim, tidak dibikin.
Anggaplah harga Free On Board (FOB) Crude Palm Oil (CPO) Rp9.068,18 dan Kernel (Inti Sawit) Rp4.743,51. Rendemen --- kadar minyak --- CPO 0,2049 dan Kernel 0,0496.
Ongkos angkut CPO ke pelabuhan dipatok Rp186,40 perkilogram. Ini berarti, harga bersih CPO di pabrik adalah Rp8.881,78 dan Kernel Rp4.743,51.
Tapi entah kenapa kemudian, perusahaan menambahkan biaya pemasaran CPO untuk dalam negeri sebesar Rp42,34 perkilogram.
Mau tak mau, harga bersih CPO di pabrik, menjadi Rp8.839,44. Padahal untuk menentukan harga TBS Pekebun menurut Permentan nomor 1 tahun 2018 tadi adalah gabungan dari hasil pengalian harga bersih masing-masing produk di pabrik, dengan rendemennya.
Itulah makanya, gara-gara dikurangi biaya pemasaran itu, harga TBS Pekebun hanya Rp2.046,48. Beda kalau ongkos pemasaran tadi tidak dibebankan kepada Pekebun, harga TBS masih di angka Rp2.055,15.
Lalu hitungan di TBS seperti apa pula? Ada biaya pengolahan TBS sebesar Rp123,39 perkilogram. Biaya penyusutan --- nilai ekonomis peralatan pabrik yang menyusut --- Rp32,49 perkilogram dan BOTL Rp49,72 perkilogram.
Singkat cerita, setelah semua ongkos-ongkos tadi dikurangi, pada periode 12-18 Agustus 2020 itu, ketemulah harga beli TBS Pekebun di angka Rp1.840,87.
Terkait BOTL tadi, pada lampiran Permentan Nomor 1 Tahun 2020 tadi disebutkan bahwa poin-poin pengeluaran dalam BOTL antara lain; Cost Of Money (bunga dan biaya bank, asuransi keamanan pengiriman uang) yang nilainya hingga 1,33 persen, penyusutan timbangan CPO dalam transportasi 0,30 persen serta kegiatan penetapan harga TBS, pembinaan pekebun dan kelembagaan Pekebun 1 persen.
Dari data Tim Pokja penetapan harga TBS Pekebun di Riau periode 12-18 Agustus 2020 disebutkan bahwa total TBS Petani yang dibeli oleh 10 Perusahaan PKS yang ikut bersepakat pada rapat adalah 59.357.264 kilogram.
TBS ini menghasilkan CPO sebanyak 8.863.080 kilogram dan Kernel 450.000 kilogram. Hitungan ini baru hanya dari 10 perusahaan yang bersepakat dalam penetapan harga TBS itu meski di Riau, ada sekitar 192 Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Nah, terkait ongkos BOTL tadi, kalau yang dipotong adalah Rp49,72 perkilogram TBS (2,63% x Harga TBS x Total TBS Pekebun yang dibeli 10 PKS), maka duit yang terkumpul sudah lebih dari Rp2,9 miliar seminggu. Kalau sebulan, angka ini membengkak menjadi Rp11,6 miliar.
Jika satu persen saja dari harga TBS permingguan penetapan harga TBS itu menjadi biaya pembinaan Pekebun dan kelembagaan Pekebun sesuai Permentan Nomor 01 Tahun 2018 tadi, maka dalam sepekan, Pekebun dan lembaganya mendapat gelontoran duit Rp1,12 miliar atau Rp4,48 miliar dalam sebulan.
Lantaran duit BOTL ini nilainya besar, pakar hukum Pidana Universitas Islam Riau, DR Nurul Huda, SH.,MH meminta supaya aparat penegak hukum segera melongok aliran duit itu.
"Duitnya enggak sedikit lho, untuk pembinaan Pekebun dan Lembaga Pekebun saja lebih dari Rp1 miliar seminggu. Kemana duit ini?," ayah dua anak ini bertanya.
Mestinya kata Nurul, lantaran regulasinya diatur oleh pemerintah, duit potongan ini musti masuk dulu ke kas Negara pada mata anggaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Lalu Negaralah yang kemudian menyalurkan melalui usulan penyetor.
"Potongan semacam ini enggak beda dengan pungutan duit ekspor yang dilakukan oleh Badan pengelolah Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Duit potongan itu kan masuk ke kas Negara dulu," Nurul mencontohkan.
Lantaran duit potongan tadi masuk kategori PNBP kata Nurul, aparat hukum musti menyigi, dimana duit itu ngendon. "Kalau duit itu enggak jelas juntrungannya, berarti telah terjadi kasus korupsi. Permentannya sudah 2 tahun lho, hitung saja sudah berapa duit BOTL yang satu persen terkumpul," tegas Nurul.
Kepada Gubernur Riau, Nurul berharap supaya segera membikin Peraturan Gubernur terkait penetapan harga TBS itu. "Nah, DPRD Riau ada baiknya segera memanggil Disbun Riau untuk mempertanyakan keberadaan duit BOTL itu," pintanya.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, mangatakan bahwa kisrus potongan dana BOTL ini harus diselesaikan dan dibuka tuntas, “Jangan coba-coba ada yang bermain, resikonya tragis. Ini sudah berlangsung 2 tahun, jika patokan potongan 2,63% itu adalah Permentan 01/2018. Kami DPP Apkasindo sudah berdiskusi dengan Dewan Pakar DPP Apkasindo Bidang Advokasi, untuk menyiapkan upaya hukum atas potongan itu,” tegas Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini kepada Gatra.com.
Persoalan potongan BOTL 2,63% ini lanjut Gulat, “Dari 22 DPW Provinsi Apkasindo, kami mengetahui bahwa hanya beberapa provinsi saja yang melakukannya, salah satunya Riau. Beberapa Provinsi lainnya enggan melakukan pungutan BOTL lantaran terkait pertanggungjawaban,” ujar lelaki 47 tahun ini.
Ayah dua anak ini kemudian mengurai bahwa sesungguhnya, para Pekebun sangat merasakan dampak potongan BOTL itu. “Harga TBS kami berkurang Rp45-Rp55/Kg TBS. Kalau luas kebun sawit rakyat di Riau 1,89 juta hektar, dengan asumsi Tanaman Menghasilkan (TM) seluas 1,134jt ha x Produksi 1,2TonTBS/Ha/bulan x Rp49 (potongan BOTL periode 12 Agustus), maka dalam sebulan, duit Pekebun yang terpotong mencapai Rp67 miliar. Potongan itu enggak jelas pula kemana perginya,” rutuk Gulat.
Abdul Aziz