Amerika Serikat belum bisa meyakinkan negara-negara Arab menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, sesuai proposal yang diajukan. Baru beberapa hari pembukaan hubungan dagang, Israel sudah membuat Uni Emirat Arab kesal.
Blokade perdagangan yang sudah berlangsung selama hampir setengah abad antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel itu, akhirnya dibuka kembali. Penguasa UEA, Sheikh Khalifa bin Zayeh al Nahyan, resmi menyambung kembali perdagangan dengan Israel yang sudah terhenti sejak 1972, pada Sabtu lalu.
Sebagai balasan, pada Senin lalu, maskapai El Al Israel Airlines melakukan penerbangan komersial pertamanya ke negeri Arab. Penerbangan langsung antara Bandara Ben Gurion Tel Aviv dan Ibu Kota UEA, Abu Dhabi, membawa delegasi Israel dan pembantu utama Presiden AS Donald Trump termasuk sang mantu, Jared Kushner. Ia disebut-sebut sebagai pemimpin pembicaraan rahasia yang berujung pengakuan UEA terhadap Israel.
Negara dengan Ibu Kota Abu Dhabi ini, mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel pada 13 Agustus lalu. UEA menjadi negara Arab ketiga setelah Mesir (1978) dan Yordania (1994) yang membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel.
Pemerintah AS menggambarkan normalisasi ini sebagai sebuah keberhasilan politik luar negeri mereka. Negeri Paman Sam itu juga yakin, kemajuan ini akan diikuti negara-negara lainnya.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, sempat optimistis bisa membujuk negara-negara Timur Tengah untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, mengikuti langkah UEA. Namun tiga negara yang disinggahi dalam muhibah pekan lalu, yaitu Bahrain, Oman, dan Sudan, enggan menerima proposal yang ditawarkan AS itu.
Pemerintah transisi Sudan mengatakan, tidak memiliki mandat untuk mengambil langkah yang begitu berat. Adapun Bahrain mengatakan, kesepakatan dengan Israel tidak akan terwujud tanpa pembentukan negara Palestina merdeka. Oman, salah satu pemain yang lebih netral di Teluk, menyambut baik pengumuman UEA sekaligus menegaskan kembali dukungannya untuk Palestina. Bahkan Maroko yang tidak dikunjungi Pompeo, mengumumkan bahwa mereka tidak akan mempertimbangkan normalisasi hubungan dengan Israel.
Sikap Oman mendapat perhatian lebih di Israel. Menurut Profesor Elie Podeh, penulis buku From Mistress to Known Partner: Israel’s Secret Relations with States and Minorities in the Middle East, Oman, negara diujung semenanjung Arab itu, sudah lama berkawan dengan Israel, yaitu sejak 1970.
Sultan Qaboos berkuasa di Oman sekitar 50 tahun, bahkan menerima Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berkunjung ke kerajaan itu pada 2018. Namun pengganti Sultan Qaboos yang mangkat Januari 2020 lalu, Sultan Haitham, cenderung lebih berhati-hati.
Podeh yang mengajar di Departemen Studi Islam dan Timur Tengah di Universitas Ibrani ini, juga menyebutkan negara-negara Teluk lainnya, seperti Bahrain, sudah menjalin hubungan bawah tanah yang luas dengan Israel sepanjang dua dekade terakhir. Ia menegaskan, Israel tidak pernah bisa diterima sepenuhnya di kawasan itu, jika tidak menyelesaikan persoalan Palestina. Apalagi jika Israel mencari perdamaian dengan dunia Arab sambil menghindari Palestina. Upayanya mengisolasi dan melemahkan Palestina hanya akan mendorong arah perjuangan mereka lewat kekerasan sebagai upaya terakhir.
***
"Setelah para pejabat Amerika dan Israel menghabiskan waktu berhari-hari memikirkan prospek bahwa negara-negara Arab lainnya akan segera mengikuti UEA dalam menormalisasi hubungan dengan Israel, kurangnya komitmen publik tambahan selama tur regional Menlu Pompeo tampak seperti antiklimaks," tutur Hugh Lovatt dari Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri kepada kantor berita AFP.
Jika pemerintahan Trump menilai normalisasi hubungan Israel dengan UEA adalah bukti keberhasilan politik luar negeri, maka tidak bagi UEA. Negara itu kini menjadi sorotan. Muncul kecaman dari beberapa negara Arab. Termasuk Palestina yang menyebut kesepakatan itu seperti tikaman dari belakang.
Profesor Hubungan Internasional dan Studi Teluk di Universitas Georgetown di Qatar, Gerd Nonneman, mengatakan kepada laman Middle East Eye akhir pekan lalu, UEA kemungkinan merasa dikucilkan, karena sekutu AS yang lain menolak mengikuti jejaknya menormalisasi hubungan dengan Israel.
Hubungan kedua negara yang terlihat menjanjikan, sebenarnya menyimpan bara. Hanya satu minggu setelah pengumuman normalisasi, UEA sudah dibuat kesal dengan sikap Israel. Israel keberatan dengan rencana AS untuk menjual jet tempur siluman F-35 AS ke UEA. Gara-gara itu, UEA membatalkan pertemuan dengan pejabat Israel dan AS yang dijadwalkan berlangsung di Abu Dhabi, Jumat lalu.
Netanyahu membantah laporan bahwa kesepakatan UEA bergantung pada penjualan F-35. Ia kembali menegaskan bahwa ia menentang langkah apa pun yang dapat mengurangi keunggulan strategis militer Israel di wilayah tersebut. Pemerintah Israel tidak ingin AS menjual F-35 AS dan senjata canggih lainnya ke negara-negara di kawasan, termasuk negara-negara Arab yang berdamai dengan Negara Israel.
Menurut Anadolu Agency, UEA membatalkan pertemuan sebagai protes atas penolakan Netanyahu terhadap penjualan F-35 ke UEA. Padahal sejak 2011, UEA telah berusaha untuk membeli jet tempur F-35, tetapi pemerintahan Presiden AS Barack Obama menolak. Pada 2017, Trump setuju untuk mempertimbangkan permintaan Abu Dhabi mengadakan pembicaraan awal tentang pembelian pesawat tersebut.
Di sisi lain, di belahan lain kawasan Timur Tengah, Israel terus meluluhlantakkan wilayah Palestina. Hingga akhir pekan lalu, tank dan pesawat tempur Israel secara reguler membom posisi Hamas di Gaza. Tindakan militer tersebut dilakukan hampir setiap malam sejak 6 Agustus.
Hamas sendiri membalas serangan itu dengan balon api dan sesekali roket. Konflik yang sudah berlangsung tiga minggu ini, belum menunjukkan tanda-tanda mereda, meskipun penengah dari Mesir bolak-bolak berkonsultasi dengan kedua belah pihak.
Seorang pejabat Hamas, Bassem Naim, memperingatkan tentang eskalasi lebih lanjut dengan mengatakan kondisi bencana yang dialami Jalur Gaza belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menegaskan, situasi dapat menyebabkan ledakan menjadi tidak terkendali.
Otoritas resmi Israel menyatakan, mereka melancarkan gelombang baru serangan, sebagai pembalasan yang menargetkan fasilitas militer Hamas tambahan di Gaza, termasuk apa yang dituduhkan sebagai lokasi pembuatan senjata.
Israel telah membom Gaza sebagai respons terhadap bom api yang dipasang pada balon dan layang-layang. Balon-balon itu terbang dan jatuh di ladang-ladang petani Israel dekat perbatasan dan memicu lebih dari 400 kebakaran di Israel selatan, seperti dikutip dari data pemadam kebakaran.
Balon api dilihat sebagai upaya Hamas untuk menekan Israel agar melonggarkan blokade terhadap Jalur Gaza dengan imbalan perdamaian di perbatasan. Namun sejauh ini, tanggapan Israel adalah memperketat blokade. Mereka melarang nelayan Gaza pergi ke laut dan menutup pintu masuk perlintasan barang, hingga satu-satunya pembangkit listrik di Gaza berhenti beroperasi karena kekurangan bahan bakar.
Rosyid