Semarang, Gatra.com - Setiap hari jumlah sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, rata-rata mencapai 800-1000 ton. Dengan luasan sekitar 46 hektare, maka sangat mungkin lahan TPA dengan akan menjadi lautan penuh sampah hanya dalam waktu tiga tahun.
Keprihatinan ini lantas mendorong Pemkot Semarang menginisiasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA Jatibarang. Misinya selain menanggulangi permasalahan sampah yang serius juga menciptakan energi alternatif.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang, Sapto Adi Sugihartono menjelaskan bahwa sampah-sampah di TPA Jatibarang diolah dengan teknologi Landfill Gas. Teknologi ini, dikatakan Sapto, memanfaatkan gas metana dari sampah.
"Sekitar 8 hektare lahan kita tutup dengan bio membran. Sampah yang tertimbun di bawah mengalami fermentasi. Nah, sampah-sampah ini mengeluarkan gas. Gas ini yang kita tangkap. Diambil sebagai bahan bakar semacam generator. Dari generator ini nantinya gas tersebut akan diubah jadi listrik," kata Sapto, Jumat (28/8).
Kapasitas listrik yang dihasilkan kata Sapto, sebesar 800 kilo watt hour (kWh) . Itupun bisa naik turun, tergantung kualitas dan ketersediaan gas metan. Energi listrik yang dihasilkan inilah nantinya akan dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) Wilayah Jateng dan DIY.
Hanya saja kekurangan teknologi Landfill Gas, kata Sapto, proses menghasilkan listrik memakan waktu cukup lama.
"Karena harus melalui proses pembusukan sampah, belum lagi memilah timbunan sampah baru dan sampah lama," ujar Sapto.
Pengamat energi, Donny Yoesgiantoro mengatakan, hampir sebesar 50 persen pasokan listrik di dunia saat ini dihasilkan dari batubara. Sebab, saat ini sumber energi fosil batubara masih cukup tersedia di alam.
Batubara menjadi salah- satu sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, karena tidak dapat segera digantikan oleh sarana alam dalam waktu cepat untuk mengimbangi konsumsi.
“Sehingga energi fosil akan habis suatu saat kelak. Namun 25 tahun atau 50 tahun mendatang bukan tidak mungkin batubara bakal habis. Jika hal ini terjadi, negara kita akan begantung dari impor, untuk itu diperlukan membuat sumber energi terbarukan dan berkelanjutan,” kata Dosen di Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) ini, belum lama ini.
Penggunaan energi baru dan terbarukan, kata dia, sampai saat ini masih kurang, yaitu sekitar 7,7 persen. Padahal target porsi energi baru dan terbarukan dalam kebijakan energi nasional sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan sebesar 31 persen pada tahun 2050.
“Untuk mencapai target tersebut diperlukan ketegasan dalam pelaksanaan regulasi atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tentang Energi Nasional. Seperti dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi merupakan energi terbarukan. Agar terwujud perpindahan konsumsi energi primer ke konsumsi energi terbarukan,” kata Pria kelahiran Semarang ini.
Diantara semua jenis sumber energi fosil, kata dia, batubara diyakini memiliki potensi dampak lingkungan yang paling parah. Ada dua metode penambangan batubara yakni penambangan terbuka atau opencast mining dan penambangan bawah tanah atau underground mining.
“Cakupan areal penambangan terbuka yang besar dapat mencapai berkilo-kilo meter dan harus menggunakan peralatan dan perlengkapan yang sangat besar dan berat. Penambangan terbuka memusnahkan tumbuhan-tumbuhan yang ada, merusak profil tanah , merusak habitat satwa liar, mengubah penggunaan tanah dan bahkan berpotensi mengubah penggunaan tanah dan bahkan berpotensi mengubah topografi situs penambangan secara permanen,” ucap Alumni Lemhanas ini.
Bahkan, lanjut dia, semua yang bernilai historis, budaya, arkeologis dan paleontologis terancam punah akibat aktivitas peledakan dan penggalian batubara jika sebelumnya tidak direlokasi.
Belum lagi, batubara dan berbagai limbah yang dihasilkan melepaskan sekitar 20 racun kimiawi, termasuk diataranya arsenik, timbel, dan merkuri, yang tentu saja merupakan polutan-polutan berbahaya. Selama pembakaran, reaksi antara batubara dan udara menghaslkan karbon dioksida atau menghasilkan gas rumah kaca, sulfur dioksida dan nitrogen dioksida.
“Namun, secara prinsip, energi kimia yang terkandung dalam batubara diubah menjadi energi listrik dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga dan dunia usaha,” ujar Donny.