Banyumas, Gatra.com – Penambang di Banyumas menolak larangan penggunaan mesin sedot 25 PK di Sungai Serayu. Para penambang berpendapat, operasional penambangan pasir di Sungai Serayu sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Sebelumnya, Balai Besar Wilayah Serayu Opak ( BBWSO) mengundang para pihak untuk sosialisasi kebijakan, koordinasi pengawasan pemantauan dan penertiban bidang SDA kegiatan usaha pertambangan di Banyumas, Selasa (26/8/2020).
Salah satu penambang rakyat di Sungai Serayu, Elko mengatakan penambangan yang dilakukan saat ini sudah sesuai dengan aturan PP no 23 Tahun 2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.
Kata dia, dalam pasal 48 ayat 4 , PP 23 tahun 2010, pada Bab 3, huruf A, B menjelaskan sumuran pada IPR ijin pertambangan paling dalam 25 meter. Kemudian, penambangan menggunakan pompa mekanik, penggelundungan atau permesinan dengan jumlah tenaga Mak 25 Horse Power.
Menurut Elko penjelasan dan himbauan dari BBWSO tentang pelarangan penggunaan mesin mekanik hanya boleh di khususkan untuk logam. PP 23 tahun 2010, dibuat untuk tatacara pelaksanaan pertambangan mineral dan batu bara bukan hanya tambang logam
Penjelasan pasal tersebut adalah untuk ijin pertambangan rakyat secara umum tidak ada penyebutan khusus untuk tambang logam seperti yang dikehendaki oleh BBWSO.
"Artinya kegiatan yang kami lakukan sudah sesuai aturan penggunaan mesinnya, jika saat ini BBWSO hendak melarang artinya tidak berdasar ," kata Elko, dalam keterangan tertulis yang diterima GATRA, Kamis malam.
Sementara, Ketua Forum Rembug Masyarakat Pengelolaan Sumberdaya Air Serayu Hilir, Eddy Wahono mengungkapkan masyarakat disulitkan dengan tumpang tindih aturan. Tumpang tindih aturan ini menyebabkan pemerintah juga melakukan pelanggaran terhadap aturan yang dibuat sendiri.
Tumpang tindih tersebut terkait adanya usulan Pemda Banyumas pada dekade tahun 2012 melalui dinas ESDM kab Banyumas, tentang peta wilayah pertambangan, sehingga muncul Kepmen ESDM no 1.204, tentang peta wilayah pertambangan Jawa Bali.
Regulasi itu kemudian diperbarui dengan Kepmen ESDM No 3672, tahun 2017 perihal peta wilayah pertambangan Jawa Bali, tidak mendasarkan pada Perda RTRW Nomor 10 tahun 2011, di pasal 43 disebutkan, sungai sungai di Kabupaten Banyumas, masuk dalam wilayah pertambangan.
Menurut dia, sesuai UU Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Minerba, yang dimaksud wilayah pertambangan, ada tiga yakni, pertama wilayah pencadangan negara, dua Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), ketiga, Ijin Pertambangan Rakyat (IPR).
Dia menjelaskan, Pergub Jateng tentang PTSP No 18 Tahun 2017 Pada halaman lampiran 1-9 PTSP tidak melayani IPR. Akibatnya seluruh IPR di Jateng kesulitan untuk mendapatkan perizinan. Khususnya di Banyumas, penambang kesulitan untuk mendapat perizinan tambang rakyat
Sedangkan Pergub Jateng No 18 tahun 2016 menjelaskan, penyelenggaraan pelayanan bidang ESDM, pada Bab 1 ketentuan umum pasal 66 wilayah pertambangan rakyat yang disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. “Berarti ESDM diberi kewenangan penyelenggaraan pelayanan. Secara jelas ESDM diberi kewenangan melalui pergub tersebut,” kata Eddy.
Eddy menilai, aturan itu kontradiktif dengan Pergub PTSP No 18 tahun 2017, yang tidak menyebut tentang izin pertambangan rakyat. Dan hal ini memperkuat tumpang tindih aturan tersebut. Pemerintah juga diharapkan bisa memberi solusi tentang tumpang tindih aturan tersebut.
“Selama ini rakyat hanya dijadikan objek kebijakan, seharusnya rakyat diberi ruang yang jelas, sehingga bisa menjalankan usaha secara benar, tanpa harus dikorbankan oleh tumpang tindih aturan tersebut,” ujarnya.
Terkait hal, Eddy mengaku pernah melayangkan surat ke Gubernur Jateng pada 10 Agustus tahun 2019. Diharapkan para pemangku kebijakan, agar memberi pembinaan berdasarkan pada aturan hukum yang sah.