Yogyakarta, Gatra.com - Pemilihan kepala daerah di masa pandemi Covid-19 disebut menguntungkan petahana. Daftar pemilih tetap (DPT) rentan dimanipulasi.
Hal ini disampaikan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdur Rozaki, dalam diskusi daring ‘Politik Lokal Pandemi, dan Demokrasi’ gelaran kampus tersebut, Kamis (27/8).
Ia menjelaskan, pilkada di gelar di 224 kabupaten dan 37 kota, 270 daerah di 9 provinsi. “Fenomenanya sekarang 70 persen petahana kembali bertarung. Ibarat lomba dia sudah menang start,” ujar Rozaki.
Menurutnya, salah satu keuntungan petahana tersebut termasuk dalam penanganan pandemi. Inkumben dapat mengalokasikan APBD untuk mengatasi pandemi sehingga memperkuat legitimasi kepemimpinannya. “Kalau petahana maju, ini pengaruhi netralitas ASN beserta keluarganya. Votersnya sangat tinggi,” ujarnya.
Kondisi pandemi juga berpengaruh terhadap daftar pemilih tetap (DPT) mengingat banyak warga yang meninggal. Sementara data termutakhir mengacu pada pemilu 2019 lalu. Jika tak diperbarui data ini rawan dimainkan. “Seperti ditemukan di Tasikmalaya, jumlah DPT rentan dimanipulasi. Apalagi setelah ada pandemi,” kata dia.
Pernyataan Rozaki mengacu pada temuan data 29.175 warga yang telah meninggal masuk DPT Tasikmalaya, awal Agustus lalu.
Selain itu, menurut dia, 21 daerah terindikasi memunculkan calon tunggal, termasuk yang sempat menarik perhatian kala putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon Wali Kota Solo.
“Solo yang paling heboh meski muncul calon independen. Calon independen ini benar atau untuk hilangkan kesan politik oligarki. Mungkin ini perlawanan terselubung dari masyarakat,” ujar Rozaki.
Menurutnya, munculnya calon tunggal ini bentuk kesenjangan elit partai dan warga. “Mestinya partai menyediakan banyak menu untuk rakyat. Sedikitnya menu ini, bahkan tanpa alternatif ini problem menipisnya demokrasi kita. Karena makin banyak pilihan, makin sehat rasa demokrasi kita,” tuturnya.
Ia menjelaskan ada empat corak politik lokal. Antara lain politik populisme yang ditentukan oleh figur-figur dan program populis, politik patronase yang menonjolkan kepemimpinan yang bergantung pada suatu patron seperti korporasi, agama, atau adat; politik oligarki yang didominasi lingkaran elite, serta politik kewargaan.
“Politik kewargaan ini sekarang sepi padahal yang paling ideal. Politik oligarki, kekerabatan, dan dinasti makin menggeser politik kewargaan,” kata dia.