Yogyakarta, Gatra.com - Aktris Christine Hakim menilai film ‘Tilik’ menjadi potret kehidupan yang dapat ditanggapi secara beragam. Pemerintah wajib membantu sineas dan memberi kebebasan berkarya sehingga produksi mereka berkualitas.
Hal itu disampaikan aktris senior peraih Piala Citra itu di ajang diskusi daring ‘Ngobrol Film: Tilik, Ladies on Top’ gelaran Center for Religion and Science Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (27/8).
“Film ini memang multiinterpretasi, tergantung bagaimana kita melihatnya. Masing-masing orang punya sudut pandang berbeda. Faktanya, film disukai karena sudah ditonton lebih dari 10 juta orang, dari mulut ke mulut, tanpa publikasi. Artinya, yang disampaikan film ini perlu dilihat,” ujarnya.
Pernyataan Christine itu menanggapi sejumlah lontaran peserta diskusi. Mulai anggapan bahwa film itu membenarkan praktik hoaks, melanggengkan stereotipe perempuan suka bergunjing, hingga tafsir bahwa film itu menunjukkan bahwa penonton sendiri yang justru memberikan stigma tertentu pada perempuan.
“Film tidak mendidik pun, saya percaya menjadi potret kecil kehidupan. Kehidupan kan tidak mendeskripsikan 1+1 harus sama dengan 2, tapi bisa 3,5, atau tergantung. Kehidupan tidak bisa dihitung dengan matematika,” tuturnya.
Menurutnya, mutitafsirnya suatu film hingga dibahas banyak orang, seperti ‘Tilik’, menunjukkan keberhasilan suatu film.
“Saya percaya orang yang berpikir positif pasti mengambil intisari positif (dari ‘Tilik’) bagi dirinya. Kalau ada yang negatif, mudah-mudahan kita tidak seperti Bu Tejo. Meski yang kita sampaikan bukan hoaks, ada batasan yang tak boleh kita lakukan seperti dalam agama,” ujarnya.
Dengan demikian, Christine bilang, silang pendapat atas ‘Tilik’ tak jadi masalah. “Film sebagai potret kehidupan jelas multiinterpretasi. Jadi sah-sah saja, siapa saja punya pendapat berbeda. Enggak ada salahnya kita berbeda. Tidak perlu memaksakan kehendak atau opini kita,” kata dia.
Menurutnya, kualitas karya sinema turut ditentukan dukungan pemerintah. “Film Korea (Selatan) yang terjaga kualtasnya karena ada kehadiran pemerintah yang tiap tahun menggelontorkan dana 100 juta dollar agar mereka pembuat program. Mereka betul-betul punya kebebasan berkarya,” kata dia.
Sebagai catatan, film pendek ‘Tilik’ diproduksi atas dukungan dana dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2018. ajang kompetisi ini digelar tahunan hingga saat ini.
Pegiat hak asasi manusia, Nursyahbani Katjasungkana, menilai aspek hiburan ‘Tilik’ sangat menonjol dan menyuguhkan stereotipe perempuan.
“Film ini dalam konteks wajah masyarakat sekarang ini. Kalau pun ending-nya menguatkan stereotipe gender, pesan (anti-hoaks) tidak sampai, secara keseluruhan film ini sebagai hiburan berhasil,” kata dia.
Ia mengingatkan bahwa stereotipe gender, seperti bahwa perempuan suka bergosip, dalam produk budaya harus dihilangkan. “Tugas kita bersama menghapus gender stereotype karena menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.