Pekanbaru, Gatra.com - Banyaknya penantang petahana dalam gelaran pilkada, merupakan indikator tidak kuatnya seorang petahana. Hal itu diungkapkan pengamat politik dari Universitas Riau, Tito Handoko.
Tito mengatakan jika pengaruh petahana untuk terpilih sangat besar, maka para penantang akan bepikir untuk ikut kontestasi.
"Kalau yang maju nanti banyak, berarti ada problem dengan petahana. Seharusnya modal elektoral dan kekuasaan yang dimiliki seorang petahana dapat mengurangi minat penantang untuk maju," terangnya kepada Gatra.com melalui sambungan seluler, Kamis (27/8).
Dosen ilmu pemerintahan Universitas Riau itu menyontohkan sosok Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pada pemilihan walikota Pekanbaru 2015. Saat itu Risma yang berstatus petahana mampu mendulang 86 persen suara. Bukan hanya itu Risma pun hanya didukung satu partai, PDI Perjuangan.
"Itu hanya bisa dicapai jika elektabilitas petahana itu memuaskan. Sehingga tidak banyak orang yang berani menantang," jelasnya.
Lanjut Tito, pilkada serentak di Riau tahun 2020 justru menggambarkan hal sebaliknya. Hal tersebut dapat dilihat dari ramainya penantang petahana pada kontestasi, dan banyaknya tarik ulur jelang pendaftaran.
"Padahal dengan pandemi Covid-19 yang terjadi, petahana itu lebih diuntungkan lantaran sosialisasi/kampanye yang bisa dikatakan tidak bersahabat bagi penantang. Nyatanya yang berminat melawan petahana juga banyak," tekannya.
Adapun sejumlah petahana yang maju di Riau, antara lain: Suyatno-Jamiludin (pilkada Rokan Hilir), Sukiman (pilkada Rokan Hulu), Mursini (pilkada Kuansing), Halim (pilkada Kuansing), dan Alfedri (pilkada Siak).