Home Internasional Sejuta Problem Membayangi Pilpres Amerika

Sejuta Problem Membayangi Pilpres Amerika

Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat, usai menggelar konvensi. Dua pasang calon presiden dan wakil presiden siap berkampanye panjang demi merebut kemenangan pada pemilu 3 November. Isu mata-mata kembali mencuat setelah Komite Intelijen Senat mengumumkan temuan intervensi Rusia pada pemilu 2016.


"Empat tahun lagi, empat tahun lagi, empat tahun lagi!" Teriakan para pendukung Donald Trump itu bergema di Aula Charlotte Convention Center, Kota Charlotte, negara bagian Carolina Utara, Senin lalu.

Kota terpadat ke-15 di Amerika Serikat itu memang dipilih oleh panitia Konvensi Nasional Republik (Republican National Convention/RNC) 2020 sebagai lokasi penyelenggaraan konvensi tahun ini.

"Kalau kalian ingin menyanjung saya, harusnya kalian katakan dua belas tahun lagi, bukan hanya empat tahun," seru Trump membalas sorak-sorai sembari tersenyum lebar, seperti dilansir media afiliasi Partai Republik, Fox News.

Hari itu memang jadi hari pertama penyelenggaraan RNC 2020. Melalui pemungutan suara langsung, Partai Republik secara resmi memilih Trump dan Mike Pence sebagai calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 3 November 2020 mendatang. Walaupun RNC 2020 sesungguhnya hanya formalitas, sebab Trump melaju mulus tanpa tandingan.

Berlangsung hingga 28 Agustus, masing-masing hari diisi tema berbeda. Keempat tema itu, yakni Tanah Para Pahlawan (Land of Heroes), Tanah yang Dijanjikan (Land of Promise), Tanah Kesempatan (Land of Opportunity), dan Tanah Kehebatan (Land of Greatness). 

RNC tadinya direncanakan bertempat di Nevada atau Carolina Utara. Dua negara bagian yang masuk kategori swing states. Dengan kata lain, penduduk di kedua wilayah ini bukan penggemar militan Partai Republik atau pun Partai Demokrat. Bahkan, Konvensi Nasional Demokrat (Democratic National Convention/DNC) 2012 berlokasi di Charlotte juga. 

DNC 2020 sudah lebih dahulu usai, yakni pada 17-20 Agustus lalu. Berbeda dengan RNC, pemungutan suara di Partai Demokrat terbelah atas sejumlah nominasi presiden. Mereka adalah Anggota DPR Distrik Hawaii, Tulsi Gabbard (2 suara); Senator Distrik Minnesota, Amy Jean Klobuchar (7 suara); Wali Kota Bend Selatan, Pete Buttigieg (21 suara); serta mantan Wali Kota New York, Michael Bloomberg (59 suara).

Selain itu, ada Senator Distrik Massachusetts, Elizabeth Warren (63 suara); Senator Distrik Vermont, Bernie Sanders (1.073 suara); serta dimenangkan oleh mantan Wakil Presiden AS, Joe Biden (2.687 suara). Meski sempat melakukan sejumlah kampanye, kejadian empat tahun silam terulang lagi, di mana Sanders kala itu kalah dari Hillary Clinton pada DNC 2016.

Dengan demikian, Biden bersama Senator Distrik California, Kamala Harris, menerima secara resmi penunjukan mereka sebagai kandidat presiden dan wakil presiden di aula Chase Center on the Riverfront, Kota Wilmington, negara bagian Delaware yang disaksikan secara virtual oleh seluruh kader Partai Demokrat. Langkah yang sempat dicela Trump karena kedua kandidat tidak berada di pusat DNC 2020 di Wisconsin Center, Kota Milwaukee, Negara Bagian Wisconsin.

Empat hari penyelenggaraan DNC 2020 juga mengusung empat tema berbeda setiap harinya, ditambah sejumlah subtema. Hari pertama, "We the People" yang menentang rasisme, saling menolong selama Covid-19, menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan partai, pulih, dan bangkit. Hari kedua soal pentingnya kepemimpinan. Hari ketiga, bicara tentang kesatuan yang lebih sempurna, baik di sektor ekonomi maupun sosial, serta ditutup dengan tema "America"s Promise".

***

Seperti konvensi biasanya, saling cela adalah menu utama RNC dan DNC. Salah satu yang paling banyak dibicarakan warganet, yaitu pidato Michelle Obama. Mantan Ibu Negara itu mengkritik Trump dengan keras. "Donald Trump adalah presiden yang salah untuk negara kita. Dia punya waktu lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukan pekerjaannya. Namun dia jelas sekali sulit untuk memahaminya. Dia jelas tidak bisa menjadi seseorang yang kita butuhkan di saat sulit ini. Itu sudah sebagaimana adanya," ujarnya, seperti dilaporkan Reuters.

Kalimat penutup Michelle itu yang membuat heboh jagat maya. Pasalnya, frasa "itu sudah sebagaimana adanya" merupakan kalimat Trump saat ditanya terkait tingginya angka kematian akibat Covid-19 di AS, yang sudah mencapai 170.000 orang. Perkataan Trump itu dinilai menyepelekan tingginya jumlah korban dan meremehkan pandemi, sehingga tak perlu disikapi dengan serius.

Kegaduhan di internet belum usai. Sehari sebelum RNC, seorang pria kulit hitam kembali menjadi korban pembunuhan polisi. Dalam sebuah video berdurasi 20 detik, terlihat seorang warga Wisconsin (lokasi DNC), Jacob Blake (29 tahun) yang mengenakan kaus putih, sedang diikuti tiga polisi. Ketiganya menodongkan senjata saat Blake berjalan di dekat mobil SUV abu-abu.

Blake tampak berjalan menjauh dari petugas yang berteriak. Ketika Blake hendak membuka pintu mobil, salah satu polisi menarik kausnya, dan menembak punggung Blake tujuh kali. Pria yang bekerja sebagai satpam itu pun langsung tersungkur hingga sempat mengalami kondisi kritis. Saat kejadian, bisa terdengar beberapa orang berteriak menghentikan polisi saat penembakan terjadi.

Sontak, kejadian pada Minggu, 23 Agustus sore itu, menimbulkan protes masyarakat. CNBC melaporkan, warga makin mengamuk saat mengetahui bahwa ketiga putra Blake yang masih berusia di bawah 10 tahun berada di dalam mobil saat itu.

"Negara kita kembali dikejutkan dengan duka dan kemarahan atas warga kulit hitam Amerika lainnya yang menjadi korban kekuasaan berlebihan. Saya mendorong adanya investigasi penuh serta transparan segera, dan para pejabat harus bertanggung jawab," tulis Biden dalam pernyataan resminya, seperti dilaporkan Insider. "Saya mengutuk rasisme yang sistemis di departemen kepolisian seluruh Amerika," ia menambahkan.

Hingga tulisan ini dibuat, Trump masih tidak memberikan komentar terkait Blake. Di sisi lain, warga AS memang sedang geram atas banyak hal. Perang dagang dengan Cina belum usai, muncul wabah Covid-19 atau yang kerap disebut Trump sebagai virus Cina, pandemi yang membunuh ratusan ribu warga AS. Padahal, perang dagang sendiri sudah membuat sejumlah sektor menghadapi penurunan pendapatan. Masalah imigran hingga rasisme juga terus menghantui.

Pemilu di AS juga dihantui masalah campur tangan negara lain. Sebelumnya, Komite Intelijen Senat mengumumkan laporan mereka terkait upaya Rusia untuk ikut campur dalam pemilu 2016. Temuan itu, yakni bagian dari laporan bipartisan kelima dan terakhir, yang terbit pada hari kedua DNC, Selasa, 18 Agustus 2020.

Volume ini difokuskan pada ancaman kontra-intelijen dan berbagai upaya Rusia untuk memengaruhi kampanye Trump dan pemilu. Komite menemukan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin, secara pribadi berada di balik operasi peretasan dan kebocoran surel Partai Demokrat yang dicuri.

Flora Libra Yanti